2.1
Definisi
Perkembangan Sosial
Menurut Yusuf
(2007) “Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam
hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan
tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan
kerja sama”. Sedangkan Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan
bahwa ”Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang
saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas,
yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur,
kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial
juga berkembang amat kompleks.
2.1.1
Bentuk- bentuk Tingkah
Laku Sosial
Proses
perkembangan sosial ini yang akan menuju kematangan sosial pada anak tersebut.
Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam
bentuk-bentuk interkasi sosial diantarannya:
1.
Pembangkangan
(Negativisme)
Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi
terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak
sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan
dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun dan mulai menurun pada usia empat
hingga enam tahun. Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang
pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif
lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari
sikap dependent menuju kearah independent.
2. Agresi (Agression)
Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun
kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi
( rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya
bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubut, menggigit, menendang
dan lain sebagainya.Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi
agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika
orang tua menghukum anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin
memingkat.
3.
Berselisih
(Bertengkar)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh
sikap atau perilaku anak lain.
4.
Menggoda
(Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan
serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau
cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.
5.
Persaingan (Rivaly)
Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh
orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan
prestice dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik.
6.
Kerja sama
(Cooperation)
Yaitu sikap mau
bekerja sama dengan orang lain. Sikap ini mulai nampak pada usia tiga tahun
atau awal empat tahun, pada usia enam hingga tujuh tahun sikap ini semakin
berkembang dengan baik.
7.
Tingkah laku
berkuasa (Ascendant behavior)
Yaitu
tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap
bossiness. Wujud dari sikap ini adalah ; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam
dan sebagainya.
8. Mementingkan diri sendiri (selffishness)
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya
9. Simpati (Sympaty)
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.
2.1.2
Faktor – faktor
yang mempengaruhi perkembangan sosial
Perkembangan sosial manusia
dipengaruhi oleh bebrapa faktor diantaranya :
1. Keluarga
1. Keluarga
Keluarga merupakan
lingkungan utama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan
anak. Termasuk perkembangan sosialnya. Proses pendidikan yang bertujuan
mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola
pergaulan dan bagaimana norma dalam menetapkan diri terhadap lingkungan yang
lebih luas ditetapkan dan diarahkan.
2.Kematangan
Untuk mampu
bersosialisasi dengan bauk diperlukan kematangan fisik sehingga setiap fisiknya
telah mampu menjlankan fungsinya dengan baik.
3. Status Sosial
Ekonomi
Kehidupan sosial banyak
dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial keluarga dalam lingkungan
masyarakat. Masyarakat akan memandang anak,bukan sebagai anak yang
independent,tetapi akan dipandang konteksnya yang utuh dalam keluarga anak
itu,”ia anak siapa”. Secara tidak langsung pergaulan sosial anak, masyarakat
dan kelompoknya akan memperhitungkan norma yang berlaku di dalam keluarganya.
Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi
normative yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehingga anak akan menjaga
status soisal dan ekonomi keluarganya.
4.Pendidikan
Pendidikan merupakan
proses sosialisais anak yang terarah. Karena pendidikan merupakan proses
pengoperasian ilmu yang normative. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan
bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, masyarakat,dan
agama.
5.Kelembagaan
Peserta didik bukan
hanya dikenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat,tetapi dikenalkan kepada
norma-norma kehidupan bangsa (nasional) .
6.Kapasitas Mental, Emosi Dan Intelegensi.
6.Kapasitas Mental, Emosi Dan Intelegensi.
Kemapuan berfikir dapat
mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memcahkan masalh, dan
berbahasa. Perkembangan emosi sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan
sosial anak. Pada hakekatnya anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan
berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu, kemampuan intelektual
tinggi,kemampuan berbahasa baik,dan pengendalian emosi secara seimbang sangat
menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak.
2.1.3 Tujuan
perkembangan Sosial Remaja
1.
Memperluas
kontak sosial. Remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahanya,
apakan disekolah atau dilingkungan tetngga. Remaja mulai menginginkan teman
yang memiliki nilai-nilai yang sama, yang dapat memahami, membuat rasa aman,
mereka dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak
dapat dibicarakan dengan orang tua.
2.
Mengembangakan
identitas diri. Remaja dalam kehidupannya mulai ingin menjawab pertanyaan
tentang dirinya, siapakah saya?
3.
Menyesuaikan
dengan kematangan seksual.
4.
Belajar menjadi
orang dewasa.
2.1.4 Tiga pola orientasi sosial remaja :
Withdrawal vs. Expansive
Anak yang
tergolong withdrawal adalah anak yang mempunyai kecenderungan menarik
diri dalam kehidupan sosial, sehingga dia lebih senang hidup menyendiri.
Sebaliknya anak expansive suka menjelajah, mudah bergaul dengan orang lain sehingga pergaulannya luas.
Reaxtive vs aplacidity
Anak yang reactive
pada umumnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga mereka banyak kegiatan, sedangkan anak yang aplacidity mempunyai
sifat acuh tak acuh bahkan tak peduli terhadap kegiatan sosial. Akibatnya
mereka terisolir dalam pergaulan sosial.
Passivity vs Dominant
Anak yang
berorientasi passivity sebenarnya banyak mengikuti kegiatan sosial namun
mereka cukup puas sebagai anggota kelompok saja, sebaliknya anak yang dominant
mempunyai kecenderungan menguasai dan mempengaruhi teman-temannya sehingga
memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi pemimpin
2.2 Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
Remaja
adalah tingkat perkembangan anak untuk mencapai fase dewasa. Remaja adalah masa
transformasi dari masa kanak – kanak dewasa.
Pada fase tersebut, kebutuhan diri si anak telah cukup kompleks,
cakrawala interaksi sosial dan pergaulannya telah cukup luas. Dalam penyesuaian
diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai memperhatikan dan mengenal
berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya
didalam keluarganya. Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja bergaul
dengan berbagai kelompok umur. Dengan proses demikian, remaja mulai memahami
norma pergaulan dengan kelompok remaja lain , kelompok anak-anak, kelompok
dewasa dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama remaja yang berlawanan
jenis dirasakan yang paling penting tetapi cukup sulit, karena disamping harus
memperhatikan norma pergaulan sesama remaja, juga terselip pemikiran pemikiran
adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.
Kehidupan
sosial pada jenjang remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual
emosional. Seorang remaja dapat mengalami sikap hubungan sosial yang bersifat
tertutup sehubungan dengan masalah yang dialami oleh remaja. Keadaan atau
peristiwa ini oleh Erik Erickson (dalam lefton, 1982:281) dinyatakan
bahwa anak telah mengalami krisi identitas. Proses pembentukan identitas diri
dan konsep diri seseorang adalah sesuatu yang kompleks. Banyak remaja
yang amat percaya pada kelompok mereka dalam menemukan jati dirinya.
Dalam hal ini Erik Erickson berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang
didorong oleh pengaruh sosiaokultural. Tidak seperti pandangan Freud, menurut
Freud kehidupan sosial remaja (pergaulan dengan sesama remaja terutama dengan
lawan jenis) didorong oleh berorientasi pada kepentingan seksual. Semua
perilaku sosial didorong oleh kepentingan sosial. Pergaulan remaja banyak
diwujudkan dalam bentuk kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Dalam
menetapkan pilihan kelompok yang diikuti, didasari oleh berbagai penimbangan,
seperti moral, sosial ekonomi, minat dan kesamaan bakat, dan kemampuan. Baik
didalam kelompok kecil maupun kelompok besar, masalah yang umum dihadapi oleh
ramaja dan yang paling rumit adalah faktor penyesuaian diri. Didalam
kelompok besar akan terjadi persaingan yang berat, masing-masing individu
bersaing tampil menonjol, memperlihatkan akunya. Oleh karena itu, sering
terjadi perpecahan dalam kelompok tersebut yang disebabkan oleh menonjolnya
kepentingan pribadi setiap orang. Teteapi sebaliknya dalam kelompok ini
terbentuk suatu persatuan yang kokoh, yang diikati oleh norma kelompok yang
telah disepakati.
Nilai
positif dalam kehidupan kelompok adalah tiap anggota kelompok belajar
berorganisasi, memilih pemimpin, dan mematuhi kelompok. Penyesuaian dalam
kelompok kecil, kelompok yang terdiri dari pasangan remaja berbeda jenis
sekalipun, tetap menjadi permasalahan yang cukup berat. Di dalam proses
penyesuaian diri, kemampuan intelektual dan emosional mempunyai pengaruh yang
kuat. Saling mengerti akan kekurangan masing-masing dan upaya menahan sikap
menonjolakan diri atau tindakan dominasi terhadap pasangannya, diperlukan
tindakan intelektual yang tepat dan kemapuan menyeimbangkan pengendalian
emosional. Dalam hubungan sosial yang lebih khusus, yang mengarah kepemilihan
pasangan hidup, pertimbangan faktor agama dan suku ini bukan saja menjadi
kepentingan masing-masing individu yang bersangkutan, tetapi dapat
menyangkut kepentingan keluarga dan kelompok yang besar (sesama agama atau
sesama suku).
1)
Pada
masa remaja, anak mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan.
Pergaulan sesama teman lawan jenis dirasakan sangat penting, tetapi cukup
sulit, karena di samping harus memperhatikan norma pergaulan sesama remaja juga
terselip pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.
2)
Kehidupan
sosial remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan emosional.
Remaja sering mengalami sikap hubungan sosial yang tertutup sehubungan dengan
masalah yang dialaminya. Menurut
“Erick Erison” Bahwa masa remaja terjadi masa krisis, masa pencarian jati diri.
Dia berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh sosiokultural.
Sedangkan menurut Freud, Kehidupan sosial remaja didorong oleh dan berorientasi
pada kepentingan seksual.
3)
Pergaulan
remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok – kelompok, baik kelompok besar
maupun kelompok kecil.
2.3. Pengaruh Teman Sebaya dan Keluarga Terhadap
Perkembangan Sosial Remaja
1. Teman Sebaya
Ketika seorang anak beranjak remaja, maka terjadi perubahan aspek
sosialnya. Pada awalnya bersifat egosentris akan berubah menjadi sociable. Pada
masa kanak-kanak lebih mengutamakan relasi sosial dengan ayah, ibu dan saudara
kandung. Anak akan merasa aman bila berada di bawah pengawasan dan perhatian
orang tuanya. Relasi anak dan orang tua lebih bersifat pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan fisiologis (makan, minum, dsb). Begitu mereka memasuki usia
remaja, kebutuhan fisiologis dan kasih sayang orang tua akan dikesampingkan dan
digantikan oleh kebutuhan akan kehadiran teman-teman sebayanya. Dengan
kehadiran teman-teman sebayanya, remaja merasa dihargai, di-orang-kan serta
merasa dapat diterima oleh lingkungannya. Perasaan-perasaan tersebut dapat
membantu remaja untuk lebih percaya diri, lebih menghargai dirinya serta mampu
untuk memiliki citra diri yang positif. Sehingga teman sebaya memiliki
fungsi bagi perkembangan kepribadian si remaja. Ada beberapa aspek kepribadian
yang dapat dikembangkan melalui kehadiran teman sebaya, yaitu :
a)
Aspek
Fisik
dengan kehadiran teman sebaya, remaja dapat mengembangkan
keterampilan-keterampilan fisiknya, seperti kegiatan-kegiatan kelompok yang
sama-sama menyukai aktifitas fisik. Misalnya kelompok sepak bola, karate, dll.
b)
Aspek
Intelektual
Di sini remaja berkelompok dengan minat yang sama, seperti ajang
diskusi atau kegiatan-kegiatan yang banyak melibatkan kemampuan intelektualnya.
c)
Aspek
Emosi
Remaja membuat kelompok untuk saling menyalurkan emosinya,
misalnya nonton bareng-bareng, nyanyi bareng-bareng (bikin band) atau kegiatan
lainnya yang bisa menyalurkan emosi mereka.
d)
Aspek
Sosial
Dengan kelompok, remaja merasa memiliki teman senasib, se ide,
seperjuangan sehingga melalui kegiatan sosial yang mereka bentuk, remaja merasa
dihargai oleh lingkungannya.
e)
Aspek
Moral
Remaja berkelompok untuk mengembangkan kemampuannya di bidang
keagamaan.
Dampak kehadiran teman sebaya juga tidak selamanya meberi
pengaruh yang positif bagi perkembangan remaja. Bila orang tua kurang
memberikan pengetahuan yang baik bagi remaja, maka akibatnya bisa menimbulkan
hal-hal yang negatif. Yang perlu diperhatikan agar remaja tidak menyimpang dari
aturan aturan dalam bersosialisasi yaitu :
a. Peran Disiplin. Remaja
harus mampu mengatur waktu. Kapan belajar, kapan bermain dengan teman sebaya
dan kapan membantu orang tua.
b. Peran Kontrol Orang Tua. Orang tua tetap harus dapat mengontrol remaja dalam berhubungan
dengan teman-teman sebayanya.
c. Hindari lingkungan yang dapat membawa remaja ke arah pergaulan
yang negatif.
d. Pandai-pandai dalam memilih bentuk kegiatan yang akan dimasuki.
e. Pilihlah teman yang memberi dampak/pengaruh yang positif terhadap
kita.
f. Memiliki aturan-aturan yang jelas sebagai bekal pada saat
bersosialisasi dengan teman teman remaja yang lain.
2. Keluarga ( Rumah Tangga)
Dalam
berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa anak/remaja yang
dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni
keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi
berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan
dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (sakinah).
2.4. Pengaruh Perkembangan Sosial Remaja
Terhadap Tingkah Laku
Pikiran
remaja sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap
kritis terhadap situasi dan orang lain,termasuk orang tuanya, setiap pendapat
orang lain dibandingkan dengan teori yang di ikuti atau diharapkan. Kemampuan
abstarksi menimbulkan kemampuan mempermasalahkan kenyataan dan
peristiwa-peristiwa keadaan bagaimana menurut alam pikirnya. Keadaan ini
akhirnya dapat menimbulkan perasaan tidak puas atau putus asa. Disamping
itu,ternyata pengaruh egosentris masih sering terliihat pada pikiran
remaja,diantaranya adalah:
Pencerminan
sifat egois sering dapat menyebabkan “kekakuan” para remaja dalam cara berfikir
maupun cara bertingkah laku, persoalan yang timbul pada masa remaja adalah banyak
bertalian dengan perkembangan fisik yang dirasakan mengganggu dirinya dalam
bergaul. Karena disangkanya orang lain sepikiran dan tidak puas mengenai
penampilan dirinya, hal ini menimbulkan perasaan seperti selalu diamati orang
lain, perasaan malu, dan membatasi gerak-geriknya. Akibat dari hal ini akan
menyebaban tingkah laku yang canggung.
Penyesuaian
diri yang dilandasi dengan sifat ego menyebabkan remaja merasa bahwa dirinya
“ampuh” atau “hebat” sehingga berani menantang malapetaka dan menceburkan diri
dalam aktifitas yang sering kali dipikirkan atau direncanakan. Aktifitas yang
dilakukan umumnya aktifitas yang tergolong membahayakan. Namun melalui banyak
pengalaman yang didapatnya,maka sifat ego semakin brkurang. Pada akhir masa
remaja pengaruh egosentris sudah sedemikian kecilnya,sehingga remaja sudah
dapat berhubungan dengan orang lain tanpa meremehkan pendapat dan pandangan
orang lain.
2.5
Isu-isu yang Terkait dengan Perkembangan Sosial Remaja
1) Pencarian Identitas
Pencarian identitas yang didefinisikan
Erikson sebagai konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan
yang dipegang teguh oleh seseorang menjadi fokus pada masa remaja. Sebagaimana
yang ditekankan Erikson usaha remaja untuk memahami diri bukan “sejenis rasa
tidak nyaman akibat menjadi dewasa”. Usaha tersebut merupakan proses vital dan
sehat yang didasarkan kepada pencapaian tahap keyakinan, otonomi.
Menurut Erikson tugas utama masa
remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas
(atau identitas versus kebingungan peran), merupakan tahap pertama
perkembangan psikososial Erikson, dimana remaja berusaha mengembangkan perasaan
akan eksistensi diri yang koheren, termasuk peran yang dimainkannya dalam
masyarakat. “Krisis identitas”ini jarang teratasi pada masa remaja; berbagai
isu berkaitan dengan keterpecahan identitas mengemuka dan kembali mengemukakan
sepanjang kehidupan masa dewasa. Kebingungan identitas muncul dalam satu dari
dua pilihan yaitu individu menarik diri, memisahkan diri dari teman sebaya dan
keluarga, atau mereka dapat kehilangan identitas mereka dalam kelompok.
Merujuk kepada Erikson, remaja tidak
membentuk identitas mereka dengan meniru orang lain, sebagaimana yang dilakukan
anak yang lebih muda, tetapi dengan memodifikasi dan mensintesis identifikasi
lebih awal kedalam struktur psikologi baru yang lebih besar, untuk membentuk
identitas, seorang remaja harus memastikan dan mengorganisir kemampuan,
kebutuhan, ketertarikan, dan hasrat mereka sehingga dapat diekspresikan dalam
konteks sosial. Bahaya dari tahap kebingungan identitas adalah dapat
memperlambat pencapaian kedewasaan psikologis.
Identitas terbentuk ketika remaja
berhasil memecahkan tiga masalah utama : pilihan pekerjaan, adopsi nilai yang
diyakini dan dijalani, dan perkembangan identitas seksual yang memuaskan. Teori
Erikson menggambarkan perkembangan identitas pria sebagai norma. Menurut
Erikson, ketika seorang wanita mendifinisikan diri mereka sendiri melalui
perkawinan dan keibuan, pria tidak dapat melakukan intiminasi yang sebenarnya
sampai mereka telah mendapatkan identitas yang stabil. Karena itu, menurut
Erikson, seorang wanita mengembangkan identitasnya melalui intiminasi, bukan
sebelumnya. Dan sebagaimana yang akan kita saksikan kemudian, orientasi pria
dalam teori Erikson ini telah menimbulkan kritik.
Empat Status Identitas
Posisi dalam pekerjaan
dan ideologi dalam status identitas terdiri dari krisis dan komitmen. Krisis (crisis)
didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan identitas selama mana remaja
memilih diantara pilihan-pilihan yang bermakna. Kebanyakan peneliti sekarang
menggunakan istilah penjajakan (exploration) dan bukan krisis (crisis).
Komitmen (commitment) didefinisikan sebagai bagian dari perkembangan
identitas dimana remaja memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap
apa yang mereka lakukan.
Pakar psikologi
berkebangsaan Kanada, James Marcia menganalisis teori perkembangan identitas
Erikson dan menyimpulkan bahwa ada empat status identitas atau mode resolusi
yaitu :
a. Penyebaran
Identitas (identity diffusion) ialah istilah
yang digunakan oleh Marcia untuk menggambarkan remaja yang belum mengalami
krisis(yaitu mereka yang belum menjajaki piloha-pilihan yang bermakna) atau
komitmen apapun.
b. Pencabutan
Identitas (identiy foreclosure) ialah
istilah yang digunakan oleh Marcia untuk menggambarkan remaja yang telah
membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami suatu krisis.
c. Penundaan
Identitas (identitymoratorium) ialah
istilah yang digunakan oleh Marcia untuk menggambarkan remaja yang sedang
berada ditengah-tengah krisis, tetapi komitmen mereka tidak ada atau hanya
didefinisikan secara samar.
d. Pencapaian
Identitas (identity achievement) ialah
istilah yang digunakan oleh Marcia bagi remaja yang telah mengalami suatu
krisis dan sudah membuat suatu komitmen.
a.
Pengaruh Keluarga Terhadap Identitas
Orang
tua adalah tokoh yang paling penting dalam perkembangan identitas remaja. Dalam
studi-studi yang mengkorelasikan perkembangan identitas remaja dengan gaya-gaya
pengasuhan, orang tua dengan gaya pengasuhan demokratis, yang mendorong remaja
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan keluarga akan mempercepat
pencapaian identitas. Orang tua dengan gaya pengasuhan otokratis, yang
mengendalikan perilaku remaja tanpa memberi remaja suatu peluang untuk
mengemukakan pendapat, akan menghambat identitas. Orang tua dengan gaya
pengasuhan permisif, yang memberi bimbingan terbatas kepada remajadan
memberikan mereka mengambil keputusan sendiri akan meningkatkan kebingungan
identitas.
b.
Gender dan Perkembangan Identitas
Sementara
teori klasik Erikson mengusulkan perbedaan-perbedaan jenis kelamin, studi-studi
terbaru memperlihatkan bahwa ketika kaum perempuan mengembangkan minat-minat
pekerjaan yang lebih kuat, perbedaan-perbedaan jenis kelamin dalam identitas
beralih menjadi persamaan-persamaan. Akan tetapi yang lain berpendapat bahwa
ikatan-ikatan relasi dan emosi lebih sentral dalam perkembangan identitas kaum
perempuan daripada kaum laki-laki, dan bahwa perkembangan identitas kaum
perempuan dewasa ini lebih kompleks daripada perkembangan identitas kamu
laki-laki.
c.
Kebudayaan dan Aspek Etnis pada Identitas
Erikson
secara khusus tertarik terhadap peran kebudayaa dalam perkembangan identitas
yang menekakan bagaimana di seluruh dunia kelompok-kelompok etnis minoritas
berjuang untuk mempertahankan identitas kebudayaan mereka saat bercampur dengan
kebudayaan mayoritas. Masa remaja sering merupakan suatu titik yang khusus
dalam perkembangan identitas individu-individu etnis minoritas, karena untuk pertama
kalinya mereka secara sadar menghadapi etnis mereka.
2.
Kepercayaan Diri
Menurut
Thantaway dalam Kamus istilah Bimbingan dan Konseling (2005:87), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis
diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau
melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri
negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri.
3.
Seksualitas
Pengertian
seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau
hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki
dengan perempuan. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah
seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan
lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual
sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari
orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama
sekali.Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi
mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena
berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak
memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri
(Handbook of Adolecent psychology, 1980).
4.
Proaktivitas
Definisi
proaktivitas adalah orang yang relatif tidak terpengaruh oleh kekuatan situasi
di sekitarnya, bahkan orang tersebut mampu mempengaruhi timbulnya perubahan
dalam lingkungannya.Hjelle dan Ziegler (1981) mengemukakan bahwa proaktivitas
merupakan salah satu asumsi dasar sifat manusia. Lebih jauh dijelaskan bahwa
proaktivitas adalah lawan dari reaktivitas. Proaktivitas merupakan
keyakinan diri bahwa sumber segala perilaku adalah terletak pada diri manusia
itu sendiri. Manusia melakukan aksi, bukan sekedar reaksi.
5. Resiliensi
Grotberg
(1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi
adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri
ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup.
Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan
tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan.
Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999: 26), bahwa resiliensi
adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi
kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup
sehari-hari.
2.6 Pengaruh Perkembangan Sosial
Terhadap Tingkah Laku
Dalam
perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain.
Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri yang sering mengarah kepenilaian
diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran
dirinya tidak akan diketahui oleh orang lain, bahkan sering ada yang
menyembunyikannya atau merahasiakannya.
Pikiran anak
saling dipengaruhi, oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis
terhadap situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemapuan
obstraksi anak yang menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan
peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semestinya menurut alam
fikirannya.
Disamping
itu pengaruh egoisentris sering terlihat, diantaranya berupa:
a. Cita-cita
idealisme yang baik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan
akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin
menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
b. Kemampuan
berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam
penilaiannya.
Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan
serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkurang
dan diakhiri masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat
bergaul dengan baik.
2.7 Implikasi
Perkembangan Sosial Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Remaja yang dalam masa mencari
dan ingin menentukan jati dirinya memiliki sikap yang terlalu tinggi menilai
dirinya atau sebaliknyha. Mereka belum mamahami benar tentang norma-norma
sosial yang berlaku didalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya dapat menimbulkan
hubungan sosial yang kurang serasi, karena mereka sukar untuk menerima norma
seksual dengan kondisi dalam kelompok atau masyarakat. Sikap menentang dan
sikap canggung dalam pergaulan akan merugikan kedua belah pihak. Oleh karena
itu, diperlukan adanya upaya pengembangan hubungan sosial remaja yang diawali
dari lingkungan keluarga, sekolah serta lingkungan masyarakat.
a.
Lingkungan Keluarga
Orang tua hendaknya mengikuti
kedewasaan remaja dengan jalan memberikan kebebasan terbimbing untuk menghambil
keputusan dan tanggung jawab sendiri. Iklim kehidupan keluarga yang memberikan
kesempatan secara maksimal terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak akan
dapat membantu anak memiliki kebiasaan psikologis untuk mengungkapkan
perasaannya. Dengan cara demikian remaja akan merasa bahwa dirinya dihargai,
diterima, dicintai, dan dihormati sebagai manusia oelh orang tua dan anggota keluarga
lainnya.
Dalam konteks bimbingan orang tua
terhadap remaja Hoffman (1989) mengemukakan tiga jenis pola asuh orang tua
yaitu:
a)
Pola Asuh Bina Kasih (Induction)
Yaitu
pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa
memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan
yang diambil oleh anaknya.
b)
Pola Asuh Unjuk Kuasa (Power Acsertion)
Yaitu pola
asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa
memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun anak tidak dapat
menerimanya.
c)
Pola Asuh Lepas Kasih (Love Withdrawai)
Yaitu pola
asuh yang diterapkan orang tua dalam medidik anaknya dengan cara menarik
sementara kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang
tuanya. Akan tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orang
tuanya maka cinta kasihnya itu akan dikembalikan seperti sedia kala.Dalam
konteks pengembangan kepribadian remaja, termasuk didalamnya perkembangan
hubungan sosial, pola asuh yang disarankan oleh Hoffman (1989) untuk diterapkan
adalah pola asuh bina kasih (induction). Artinya setiap keputusan yang diambil
oleh orang tua tentang anak remajanya atau setiap pelakuan yang diberikan orang
tua terhadap anak remajanya harus senantiasa disertai dengan penjelasan atau
alasan yang rasional. Dengan cara demikian, remaja akan dapat mengembangkan
pemikirannya untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak terhadap
keputusan atau perlakuan orang tuanya.
b.
Lingkungan Sekolah
Didalam mengembankan hubungan sosial
remaja, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat
demokratis. Guru harus berupaya agar pelajaran yang diberikan selalu cukup
menarik minat anak, sebab tidak jarang anak menganggap pelajaran yang diberikan
oleh guru kepadanya tidak bermanfaat. Tugas guru tidak hanya semata-mata
mengajar tetapi juga mendidik. Artinya, selain menyampaikan pelajaran sebagai
upaya mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina para
peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Dengan demikian,
perkembangan hubungan sosial remaja akan dapat berkembangsecara maksimal.
c.
Lingkungan Masyarakat
·
Penciptaan kelompok sosial remaja
perlu dikembangkan untuk memberikan rangsang kepada mereka kearah perilaku yang
bermanfaat.
·
Perlu sering diadakan kegiatan kerja
bakti, bakti karya untuk dapat mempelajari remaja bersosialisasi sesamanya dan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perkembangan
sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Pada masa remaja
inilah, anak mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan,
kehidupan sosial remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan
emosional. Sedangkan pikiran remaja seringkali dipengaruhi oleh ide-ide
dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain,
termasuk orang tuanya, setiap pendapat orang lain dibandingkan dengan teori
yang di ikuti atau diharapkan dan terlihat bahwa pengaruh egosentris masih
sering terdapat pada pikiran remaja.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar