Selasa, 30 Juli 2013

PERKEMBANGAN SOSIAL



2.1  Definisi Perkembangan Sosial
      Menurut Yusuf (2007)  “Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama”. Sedangkan Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa ”Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks.

2.1.1                  Bentuk- bentuk Tingkah Laku Sosial
                 Proses perkembangan sosial ini yang akan menuju kematangan sosial pada anak tersebut. Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk interkasi sosial diantarannya:
1.      Pembangkangan (Negativisme)
Bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun dan mulai menurun pada usia empat hingga enam tahun. Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent menuju kearah independent.
2.      Agresi (Agression)
Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi ( rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubut, menggigit, menendang dan lain sebagainya.Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka egretifitas anak akan semakin memingkat.
3.      Berselisih (Bertengkar)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain.
4.      Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.
5.      Persaingan (Rivaly)
Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan prestice dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik.
6.    Kerja sama (Cooperation)
Yaitu sikap mau bekerja sama dengan orang lain. Sikap ini mulai nampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun, pada usia enam hingga tujuh tahun sikap ini semakin berkembang dengan baik.
7.    Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior)
Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah ; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan sebagainya.
8.      Mementingkan diri sendiri (selffishness)
Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya
9.      Simpati (Sympaty)
Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.

2.1.2                  Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial
            Perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh bebrapa faktor diantaranya :
            1. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan utama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak. Termasuk perkembangan sosialnya. Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menetapkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan.
2.Kematangan
Untuk mampu bersosialisasi dengan bauk diperlukan kematangan fisik sehingga setiap fisiknya telah mampu menjlankan fungsinya dengan baik.
3. Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial keluarga dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat akan memandang anak,bukan sebagai anak yang independent,tetapi akan dipandang konteksnya yang utuh dalam keluarga anak itu,”ia anak siapa”. Secara tidak langsung pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya akan memperhitungkan norma yang berlaku di dalam keluarganya. Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi normative yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehingga anak akan menjaga status soisal dan ekonomi keluarganya.
4.Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisais anak yang terarah. Karena pendidikan merupakan proses pengoperasian ilmu yang normative. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, masyarakat,dan agama.
5.Kelembagaan
Peserta didik bukan hanya dikenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat,tetapi dikenalkan kepada norma-norma kehidupan bangsa (nasional) .
6.Kapasitas Mental, Emosi Dan Intelegensi.
Kemapuan berfikir dapat mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memcahkan masalh, dan berbahasa. Perkembangan emosi sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Pada hakekatnya anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu, kemampuan intelektual tinggi,kemampuan berbahasa baik,dan pengendalian emosi secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak.
2.1.3 Tujuan perkembangan Sosial Remaja
1.      Memperluas kontak sosial. Remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahanya, apakan disekolah atau dilingkungan tetngga. Remaja mulai menginginkan teman yang memiliki nilai-nilai yang sama, yang dapat memahami, membuat rasa aman, mereka dapat mempercayakan masalah-masalah dan membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua.
2.      Mengembangakan identitas diri. Remaja dalam kehidupannya mulai ingin menjawab pertanyaan tentang dirinya, siapakah saya?
3.      Menyesuaikan dengan kematangan seksual.
4.      Belajar menjadi orang dewasa.
2.1.4 Tiga pola orientasi sosial remaja :
        Withdrawal vs. Expansive
Anak yang tergolong withdrawal adalah anak yang mempunyai kecenderungan menarik diri dalam kehidupan sosial, sehingga dia lebih senang hidup menyendiri. Sebaliknya anak expansive suka menjelajah, mudah bergaul dengan orang lain sehingga pergaulannya luas.
                  Reaxtive vs aplacidity
Anak yang reactive pada umumnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga mereka banyak kegiatan, sedangkan anak yang aplacidity mempunyai sifat acuh tak acuh bahkan tak peduli terhadap kegiatan sosial. Akibatnya mereka terisolir dalam pergaulan sosial.
                  Passivity vs Dominant
Anak yang berorientasi passivity sebenarnya banyak mengikuti kegiatan sosial namun mereka cukup puas sebagai anggota kelompok saja, sebaliknya anak yang dominant mempunyai kecenderungan menguasai dan mempengaruhi teman-temannya sehingga memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi pemimpin

2.2 Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
                 Remaja adalah tingkat perkembangan anak untuk mencapai fase dewasa. Remaja adalah masa transformasi dari masa kanak – kanak dewasa.  Pada fase tersebut, kebutuhan diri si anak telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan pergaulannya telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya didalam keluarganya. Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja bergaul dengan berbagai kelompok umur. Dengan proses demikian, remaja mulai memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja lain , kelompok anak-anak, kelompok dewasa dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama remaja yang berlawanan jenis dirasakan yang paling penting tetapi cukup sulit, karena disamping harus memperhatikan norma pergaulan sesama remaja, juga terselip pemikiran pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.
     Kehidupan sosial pada jenjang remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual emosional. Seorang remaja dapat mengalami sikap hubungan sosial yang bersifat tertutup sehubungan dengan masalah yang dialami oleh remaja. Keadaan atau peristiwa ini oleh Erik Erickson  (dalam lefton, 1982:281) dinyatakan bahwa anak telah mengalami krisi identitas. Proses pembentukan identitas diri dan konsep diri seseorang adalah sesuatu yang kompleks.  Banyak remaja yang amat percaya pada kelompok mereka dalam menemukan jati dirinya.  Dalam hal ini Erik Erickson berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh pengaruh sosiaokultural. Tidak seperti pandangan Freud, menurut Freud kehidupan sosial remaja (pergaulan dengan sesama remaja terutama dengan lawan jenis) didorong oleh berorientasi pada kepentingan seksual. Semua perilaku sosial didorong oleh kepentingan sosial. Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok baik kelompok kecil maupun besar. Dalam menetapkan pilihan kelompok yang diikuti, didasari oleh berbagai penimbangan, seperti moral, sosial ekonomi, minat dan kesamaan bakat, dan kemampuan. Baik didalam kelompok kecil maupun kelompok besar, masalah yang umum dihadapi oleh ramaja dan yang paling rumit adalah faktor penyesuaian diri. Didalam kelompok besar akan terjadi persaingan yang berat, masing-masing individu bersaing tampil menonjol, memperlihatkan akunya. Oleh karena itu, sering terjadi perpecahan dalam kelompok tersebut yang disebabkan oleh menonjolnya kepentingan pribadi setiap orang. Teteapi sebaliknya dalam kelompok ini terbentuk suatu persatuan yang kokoh, yang diikati oleh norma kelompok yang telah disepakati.
            Nilai positif dalam kehidupan kelompok adalah tiap anggota kelompok belajar berorganisasi, memilih pemimpin, dan mematuhi kelompok.  Penyesuaian dalam kelompok kecil, kelompok yang terdiri dari pasangan remaja berbeda jenis sekalipun, tetap menjadi permasalahan yang cukup berat. Di dalam proses penyesuaian diri, kemampuan intelektual dan emosional mempunyai pengaruh yang kuat. Saling mengerti akan kekurangan masing-masing dan upaya menahan sikap menonjolakan diri atau tindakan dominasi terhadap pasangannya, diperlukan tindakan intelektual yang tepat dan kemapuan menyeimbangkan pengendalian emosional. Dalam hubungan sosial yang lebih khusus, yang mengarah kepemilihan pasangan hidup, pertimbangan faktor agama dan suku ini bukan saja menjadi kepentingan masing-masing individu  yang bersangkutan, tetapi dapat menyangkut kepentingan keluarga dan kelompok yang besar (sesama agama atau sesama suku).
1)      Pada masa remaja, anak mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan. Pergaulan sesama teman lawan jenis dirasakan sangat penting, tetapi cukup sulit, karena di samping harus memperhatikan norma pergaulan sesama remaja juga terselip pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.
2)      Kehidupan sosial remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan emosional. Remaja sering mengalami sikap hubungan sosial yang tertutup sehubungan dengan masalah yang dialaminya. Menurut “Erick Erison” Bahwa masa remaja terjadi masa krisis, masa pencarian jati diri. Dia berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh sosiokultural. Sedangkan menurut Freud, Kehidupan sosial remaja didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan seksual.
3)      Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok – kelompok, baik kelompok besar maupun kelompok kecil.

2.3.  Pengaruh Teman Sebaya dan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial Remaja
1.      Teman Sebaya
Ketika seorang anak beranjak remaja, maka terjadi perubahan aspek sosialnya. Pada awalnya bersifat egosentris akan berubah menjadi sociable. Pada masa kanak-kanak lebih mengutamakan relasi sosial dengan ayah, ibu dan saudara kandung. Anak akan merasa aman bila berada di bawah pengawasan dan perhatian orang tuanya. Relasi anak dan orang tua lebih bersifat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis (makan, minum, dsb). Begitu mereka memasuki usia remaja, kebutuhan fisiologis dan kasih sayang orang tua akan dikesampingkan dan digantikan oleh kebutuhan akan kehadiran teman-teman sebayanya. Dengan kehadiran teman-teman sebayanya, remaja merasa dihargai, di-orang-kan serta merasa dapat diterima oleh lingkungannya. Perasaan-perasaan tersebut dapat membantu remaja untuk lebih percaya diri, lebih menghargai dirinya serta mampu untuk memiliki citra  diri yang positif. Sehingga teman sebaya memiliki fungsi bagi perkembangan kepribadian si remaja. Ada beberapa aspek kepribadian yang dapat dikembangkan melalui kehadiran teman sebaya, yaitu :
a)      Aspek Fisik
dengan kehadiran teman sebaya, remaja dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan fisiknya, seperti kegiatan-kegiatan kelompok yang sama-sama menyukai aktifitas fisik. Misalnya kelompok sepak bola, karate, dll.
b)      Aspek Intelektual
Di sini remaja berkelompok dengan minat yang sama, seperti ajang diskusi atau kegiatan-kegiatan yang banyak melibatkan kemampuan intelektualnya.
c)      Aspek Emosi
Remaja membuat kelompok untuk saling menyalurkan emosinya, misalnya nonton bareng-bareng, nyanyi bareng-bareng (bikin band) atau kegiatan lainnya yang bisa menyalurkan emosi mereka.
d)     Aspek Sosial
Dengan kelompok, remaja merasa memiliki teman senasib, se ide, seperjuangan sehingga melalui kegiatan sosial yang mereka bentuk, remaja merasa dihargai oleh lingkungannya.
e)      Aspek Moral 
Remaja berkelompok untuk mengembangkan kemampuannya di bidang keagamaan.
                        Dampak kehadiran teman sebaya juga tidak selamanya meberi pengaruh yang positif bagi perkembangan remaja. Bila orang tua kurang memberikan pengetahuan yang baik bagi remaja, maka akibatnya bisa menimbulkan hal-hal yang negatif. Yang perlu diperhatikan agar remaja tidak menyimpang dari aturan aturan dalam bersosialisasi yaitu :
a.       Peran Disiplin. Remaja harus mampu mengatur waktu. Kapan belajar, kapan bermain dengan teman sebaya dan kapan membantu orang tua.
b.      Peran Kontrol Orang Tua. Orang tua tetap harus dapat mengontrol remaja dalam berhubungan dengan teman-teman sebayanya.
c.       Hindari lingkungan yang dapat membawa remaja ke arah pergaulan yang negatif.
d.      Pandai-pandai dalam memilih bentuk kegiatan yang akan dimasuki.
e.       Pilihlah teman yang memberi dampak/pengaruh yang positif terhadap kita.
f.       Memiliki aturan-aturan yang jelas sebagai bekal pada saat bersosialisasi dengan teman teman remaja yang lain.

2.    Keluarga ( Rumah Tangga)
Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (sakinah).



2.4.      Pengaruh Perkembangan Sosial Remaja Terhadap Tingkah Laku
                        Pikiran remaja sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain,termasuk orang tuanya, setiap pendapat orang lain dibandingkan dengan teori yang di ikuti atau diharapkan. Kemampuan abstarksi menimbulkan kemampuan mempermasalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa keadaan bagaimana menurut alam pikirnya. Keadaan ini akhirnya dapat menimbulkan perasaan tidak puas atau putus asa. Disamping itu,ternyata pengaruh egosentris masih sering terliihat pada pikiran remaja,diantaranya adalah:
                        Pencerminan sifat egois sering dapat menyebabkan “kekakuan” para remaja dalam cara berfikir maupun cara bertingkah laku, persoalan yang timbul pada masa remaja adalah banyak bertalian dengan perkembangan fisik yang dirasakan mengganggu dirinya dalam bergaul. Karena disangkanya orang lain sepikiran dan tidak puas mengenai penampilan dirinya, hal ini menimbulkan perasaan seperti selalu diamati orang lain, perasaan malu, dan membatasi gerak-geriknya. Akibat dari hal ini akan menyebaban tingkah laku yang canggung.
                        Penyesuaian diri yang dilandasi dengan sifat ego menyebabkan remaja merasa bahwa dirinya “ampuh” atau “hebat” sehingga berani menantang malapetaka dan menceburkan diri dalam aktifitas yang sering kali dipikirkan atau direncanakan. Aktifitas yang dilakukan umumnya aktifitas yang tergolong membahayakan. Namun melalui banyak pengalaman yang didapatnya,maka sifat ego semakin brkurang. Pada akhir masa remaja pengaruh egosentris sudah sedemikian kecilnya,sehingga remaja sudah dapat berhubungan dengan orang lain tanpa meremehkan pendapat dan pandangan orang lain.

2.5  Isu-isu yang Terkait dengan Perkembangan Sosial Remaja
1)      Pencarian Identitas
            Pencarian identitas yang didefinisikan Erikson sebagai konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seseorang menjadi fokus pada masa remaja. Sebagaimana yang ditekankan Erikson usaha remaja untuk memahami diri bukan “sejenis rasa tidak nyaman akibat menjadi dewasa”. Usaha tersebut merupakan proses vital dan sehat yang didasarkan kepada pencapaian tahap keyakinan, otonomi.
            Menurut Erikson tugas utama masa remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas (atau identitas versus kebingungan peran), merupakan tahap pertama perkembangan psikososial Erikson, dimana remaja berusaha mengembangkan perasaan akan eksistensi diri yang koheren, termasuk peran yang dimainkannya dalam masyarakat. “Krisis identitas”ini jarang teratasi pada masa remaja; berbagai isu berkaitan dengan keterpecahan identitas mengemuka dan kembali mengemukakan sepanjang kehidupan masa dewasa. Kebingungan identitas muncul dalam satu dari dua pilihan yaitu individu menarik diri, memisahkan diri dari teman sebaya dan keluarga, atau mereka dapat kehilangan identitas mereka dalam kelompok.
            Merujuk kepada Erikson, remaja tidak membentuk identitas mereka dengan meniru orang lain, sebagaimana yang dilakukan anak yang lebih muda, tetapi dengan memodifikasi dan mensintesis identifikasi lebih awal kedalam struktur psikologi baru yang lebih besar, untuk membentuk identitas, seorang remaja harus memastikan dan mengorganisir kemampuan, kebutuhan, ketertarikan, dan hasrat mereka sehingga dapat diekspresikan dalam konteks sosial. Bahaya dari tahap kebingungan identitas adalah dapat memperlambat pencapaian kedewasaan psikologis.
            Identitas terbentuk ketika remaja berhasil memecahkan tiga masalah utama : pilihan pekerjaan, adopsi nilai yang diyakini dan dijalani, dan perkembangan identitas seksual yang memuaskan. Teori Erikson menggambarkan perkembangan identitas pria sebagai norma. Menurut Erikson, ketika seorang wanita mendifinisikan diri mereka sendiri melalui perkawinan dan keibuan, pria tidak dapat melakukan intiminasi yang sebenarnya sampai mereka telah mendapatkan identitas yang stabil. Karena itu, menurut Erikson, seorang wanita mengembangkan identitasnya melalui intiminasi, bukan sebelumnya. Dan sebagaimana yang akan kita saksikan kemudian, orientasi pria dalam teori Erikson ini telah menimbulkan kritik.
            Empat Status Identitas
                        Posisi dalam pekerjaan dan ideologi dalam status identitas terdiri dari krisis dan komitmen. Krisis (crisis) didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan identitas selama mana remaja memilih diantara pilihan-pilihan yang bermakna. Kebanyakan peneliti sekarang menggunakan istilah penjajakan (exploration) dan bukan krisis (crisis). Komitmen (commitment) didefinisikan sebagai bagian dari perkembangan identitas dimana remaja memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang mereka lakukan.
                        Pakar psikologi berkebangsaan Kanada, James Marcia menganalisis teori perkembangan identitas Erikson dan menyimpulkan bahwa ada empat status identitas atau mode resolusi yaitu :
a.       Penyebaran Identitas (identity diffusion) ialah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk menggambarkan remaja yang belum mengalami krisis(yaitu mereka yang belum menjajaki piloha-pilihan yang bermakna) atau komitmen apapun.
b.      Pencabutan Identitas (identiy foreclosure) ialah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk menggambarkan remaja yang telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami suatu krisis.
c.       Penundaan Identitas (identitymoratorium) ialah istilah yang digunakan oleh Marcia untuk menggambarkan remaja yang sedang berada ditengah-tengah krisis, tetapi komitmen mereka tidak ada atau hanya didefinisikan secara samar.
d.      Pencapaian Identitas (identity achievement) ialah istilah yang digunakan oleh Marcia bagi remaja yang telah mengalami suatu krisis dan sudah membuat suatu komitmen.
a.      Pengaruh Keluarga Terhadap Identitas
      Orang tua adalah tokoh yang paling penting dalam perkembangan identitas remaja. Dalam studi-studi yang mengkorelasikan perkembangan identitas remaja dengan gaya-gaya pengasuhan, orang tua dengan gaya pengasuhan demokratis, yang mendorong remaja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan keluarga akan mempercepat pencapaian identitas. Orang tua dengan gaya pengasuhan otokratis, yang mengendalikan perilaku remaja tanpa memberi remaja suatu peluang untuk mengemukakan pendapat, akan menghambat identitas. Orang tua dengan gaya pengasuhan permisif, yang memberi bimbingan terbatas kepada remajadan memberikan mereka mengambil keputusan sendiri akan meningkatkan kebingungan identitas.


b.      Gender dan Perkembangan Identitas
      Sementara teori klasik Erikson mengusulkan perbedaan-perbedaan jenis kelamin, studi-studi terbaru memperlihatkan bahwa ketika kaum perempuan mengembangkan minat-minat pekerjaan yang lebih kuat, perbedaan-perbedaan jenis kelamin dalam identitas beralih menjadi persamaan-persamaan. Akan tetapi yang lain berpendapat bahwa ikatan-ikatan relasi dan emosi lebih sentral dalam perkembangan identitas kaum perempuan daripada kaum laki-laki, dan bahwa perkembangan identitas kaum perempuan dewasa ini lebih kompleks daripada perkembangan identitas kamu laki-laki.
c.       Kebudayaan dan Aspek Etnis pada Identitas
          Erikson secara khusus tertarik terhadap peran kebudayaa dalam perkembangan identitas yang menekakan bagaimana di seluruh dunia kelompok-kelompok etnis minoritas berjuang untuk mempertahankan identitas kebudayaan mereka saat bercampur dengan kebudayaan mayoritas. Masa remaja sering merupakan suatu titik yang khusus dalam perkembangan identitas individu-individu etnis minoritas, karena untuk pertama kalinya mereka secara sadar menghadapi etnis mereka.
2.      Kepercayaan Diri
      Menurut Thantaway dalam Kamus istilah Bimbingan dan Konseling (2005:87), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri.
3.      Seksualitas
          Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan.  Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah  seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis.  Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali.Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat  remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of Adolecent psychology, 1980).
4.      Proaktivitas
     Definisi proaktivitas adalah orang yang relatif tidak terpengaruh oleh kekuatan situasi di sekitarnya, bahkan orang tersebut mampu mempengaruhi timbulnya perubahan dalam lingkungannya.Hjelle dan Ziegler (1981) mengemukakan bahwa proaktivitas merupakan salah satu asumsi dasar sifat manusia. Lebih jauh dijelaskan bahwa proaktivitas adalah lawan dari reaktivitas. Proaktivitas merupakan keyakinan diri bahwa sumber segala perilaku adalah terletak pada diri manusia itu sendiri. Manusia melakukan aksi, bukan sekedar reaksi.
5.      Resiliensi
Grotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Hal senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999: 26), bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

2.6 Pengaruh Perkembangan Sosial Terhadap Tingkah Laku
                 Dalam perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri yang sering mengarah kepenilaian diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya tidak akan diketahui oleh orang lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya atau merahasiakannya.
                 Pikiran anak saling dipengaruhi, oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemapuan obstraksi anak yang menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semestinya menurut alam fikirannya.
Disamping itu pengaruh egoisentris sering terlihat, diantaranya berupa:
a.       Cita-cita idealisme yang baik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
b.      Kemampuan berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam penilaiannya.
Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkurang dan diakhiri masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.

2.7 Implikasi Perkembangan Sosial Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
                 Remaja yang dalam masa mencari dan ingin menentukan jati dirinya memiliki sikap yang terlalu tinggi menilai dirinya atau sebaliknyha. Mereka belum mamahami benar tentang norma-norma sosial yang berlaku didalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya dapat menimbulkan hubungan sosial yang kurang serasi, karena mereka sukar untuk menerima norma seksual dengan kondisi dalam kelompok atau masyarakat. Sikap menentang dan sikap canggung dalam pergaulan akan merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya pengembangan hubungan sosial remaja yang diawali dari lingkungan keluarga, sekolah serta lingkungan masyarakat.
a.       Lingkungan Keluarga
Orang tua hendaknya mengikuti kedewasaan remaja dengan jalan memberikan kebebasan terbimbing untuk menghambil keputusan dan tanggung jawab sendiri. Iklim kehidupan keluarga yang memberikan kesempatan secara maksimal terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak akan dapat membantu anak memiliki kebiasaan psikologis untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan cara demikian remaja akan merasa bahwa dirinya dihargai, diterima, dicintai, dan dihormati sebagai manusia oelh orang tua dan anggota keluarga lainnya.
Dalam konteks bimbingan orang tua terhadap remaja Hoffman (1989) mengemukakan tiga jenis pola asuh orang tua yaitu:
                   a)        Pola Asuh Bina Kasih (Induction)
            Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil oleh anaknya.
            b)        Pola Asuh Unjuk Kuasa (Power Acsertion)
Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun anak tidak dapat menerimanya.
                   c)        Pola Asuh Lepas Kasih (Love Withdrawai)
Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam medidik anaknya dengan cara menarik sementara kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya. Akan tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orang tuanya maka cinta kasihnya itu akan dikembalikan seperti sedia kala.Dalam konteks pengembangan kepribadian remaja, termasuk didalamnya perkembangan hubungan sosial, pola asuh yang disarankan oleh Hoffman (1989) untuk diterapkan adalah pola asuh bina kasih (induction). Artinya setiap keputusan yang diambil oleh orang tua tentang anak remajanya atau setiap pelakuan yang diberikan orang tua terhadap anak remajanya harus senantiasa disertai dengan penjelasan atau alasan yang rasional. Dengan cara demikian, remaja akan dapat mengembangkan pemikirannya untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak terhadap keputusan atau perlakuan orang tuanya.
b.      Lingkungan Sekolah
Didalam mengembankan hubungan sosial remaja, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis. Guru harus berupaya agar pelajaran yang diberikan selalu cukup menarik minat anak, sebab tidak jarang anak menganggap pelajaran yang diberikan oleh guru kepadanya tidak bermanfaat. Tugas guru tidak hanya semata-mata mengajar tetapi juga mendidik. Artinya, selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina para peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Dengan demikian, perkembangan hubungan sosial remaja akan dapat berkembangsecara maksimal.
c.       Lingkungan Masyarakat
·         Penciptaan kelompok sosial remaja perlu dikembangkan untuk memberikan rangsang kepada mereka kearah perilaku yang bermanfaat.
·         Perlu sering diadakan kegiatan kerja bakti, bakti karya untuk dapat mempelajari remaja bersosialisasi sesamanya dan masyarakat.



























BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Pada masa remaja inilah, anak mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan, kehidupan sosial remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan emosional. Sedangkan pikiran remaja seringkali dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk orang tuanya, setiap pendapat orang lain dibandingkan dengan teori yang di ikuti atau diharapkan dan terlihat bahwa pengaruh egosentris masih sering terdapat pada pikiran remaja.
sumber :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari..