Selasa, 30 Juli 2013

perkembangan moral dan agama



Perkembangan Moral Remaja
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
®    Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan
®    Larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
·         Pandangan moral individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
·         Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
·         Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis kode social dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
·         Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
·         Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1.      Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2.      Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3.       Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Perkembangan moral adalah salah satu topic tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Teori Psikoanalisis tentang perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawabdari perbuatan-perbuatannya.

2.2 Perkembangan Agama Pada Remaja
            Latar belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia.
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia dua puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan (Bossard dan Boll, 1943).
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remajamereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Peneliti lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja. Oser & Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama.
Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan cirri-ciri pokoknya saja. James Fowler (1976) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional (konatif) mengalami perkembangan.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1.         Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
·         Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
·         Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
·         Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
2.          Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
·         Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa.
·         Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
·         Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
2.3 Hubungan Antara Moral Dan Agama
1)        Tuhan sebagai penolong moral
Tuhan bagi seorang remaja adalah keharusan moral, pada masa remaja itu, Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral, daripada sandaran emosi. Andaikata kadang-kadang pikiran pada masa remaja itu berontak dan ingin mengingkari wujud Allah, atau ragu-ragu kepadanya, namun tetap ada suatu hal yang menghubungkan dengan Allah yaitu kebutuhannya untuk mengendalikannya moral.
2)        Pengertian surga dan neraka
Kebanyakan remaja memikirkan alam lain, bukanlah untuk tempat senang-senang atau tempat siksaan jasmani, akan tetapi sebagai lambang bagi pikiran pembalasan atau lambing kebahagiaan yang ingin dicapainya dan terlepas dari kegoncangan remaja yang tidak menyenangkan itu.
3)        Pengertian tentang malaikat dan setan
Mereka sadar betapa erat hubungan setan dengan malaikat itu dengan dirinya,mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan dengan dorongan jahat yang ada dalam dirinya, dan hubungan dengan malaikat dengan moral dan keindahannya yang ideal, demikian pula hubungan surga deengan ketentraman batin dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan ketenangan batin dan hukuman-hukuman atas dosa.
2.4 Perkembangan Moral Dan Agama Terhadap Remaja Di Indonesia
            Moral mendapatkan tempat yang wajar dan leluasa dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IX pasal 39 butir 2 misalnya mengatakan bahwa isi kurikulum setiap jenis,jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan agama biasanya diartikan pendidikan yang materi bahasanya berkaitan dengan keimanan, ketakwaan, akhlak dan ibadah kepada Tuhan.
            Dengan demikian pendidikan agama berkaitan dengan pembinaan mental-spiritual yang selanjutnya dapat mendasari tingkah laku manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Pendidikan agama tidak terlepas dari upaya menanamkan nilai-nilai serta unsur agama pada jiwa seseorang. Unsur-unsur agama tersebut secara umum ada empat.Keyakinan atau kepercayaan terhadap adanya Tuhan atau kekuatan gaib tempat berlindung dan memohon pertolongan melakukan hubungan yang sebaik-baiknya dengan tuhan guna mencapai kesejahteraan hidup didunia dan akhirat mecintai dan melaksanakan perintah Tuhan, serta menjauhi larangan-Nya, dengan jalan beribadah yang setulus-tulusnya,dan meninggalkan segala yang diizinkan-Nya Meyakini adanya hal-hal yang dianggap suci dan sakral, seperti kitab suci, tempat ibadah dan sebagainya.Adapun moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum dari pada keinginan pribadi.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
A.    Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
B.     Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
C.     Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.

sumber :


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari..