A.
Konsep Kemandirian
Kemandirian adalah satu
sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah
demi mencapai satu tujuan, tanpa menutupi diri terhadap berbagai kemungkinan
kerjasama yang saling menguntungkan.
Kemandirian merupakan salah satu
tugas pokok perkembangan. Untuk pencapaiannya harus diterapkan sejak dini dalam
diri anak, agar anak mampu melaksanakan segala sesuatu dengan kemampuannya
sendiri yang dominan, dimana anak tersebut mampu menyelesaikan tugas dengan
kemampuan tanpa di dominasi bantuan dari orang lain.
Kemandirian pada remaja lebih
mengarah ke tindakan yang melibatkan hati dan pemikiran (psikis). Hal ini
diperkuat pernyataan ahli perkembangan yang menyatakan: “Berbeda dengan
kemandirian pada masa anak-anak uang lebih bersifat motorik, seperti berusaha
makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian
tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan
kebebasan berprilaku sesuai dengan keinginanya”. Memberikan kesempatan kepada
remaja untuk menentukan pilihan-pilihan sederhana akan menumbuhkan rasa percaya
diri dalam dirinya sehingga seterusnya ia akan mampu memutuskan perkara yang
lebih pelik.
Dalam teori kemandirian
yang dikembangkan Steinberg (1995) istilah independence dan autonomy sering
disejajarartikan secara silih berganti (interchangeable) sesuai dengan konsep
kedua istilah tersebut. Meski secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti
yang sama yakni kemandirian, tetapi sesungguhnya secara konseptual kedua
istilah tersebut berbeda.
Secara leksikal independence
berarti kemerdekaan atau kebebasan. Secara konseptual independence mengacu
kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Berdasarkan konsep
independence ini Steinberg (1995) menjelaskan bahwa anak yang sudah mencapai
independence ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup
terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orang tua. Misalnya, ketika
anak ingin buang air kecil ia langsung pergi ke toilet, tidak merengekrengek meminta
dibantu buka celana atau minta dicarikan tempat kencing. Kemandirian yang
mengarah kepada konsep independence ini merupakan bagian dari perkembangan
autonomy selama masa remaja, hanya saja autonomy mencakup dimensi emosional,
behavioral, dan nilai.
Hanna Widjaja (1986),
mengemukakan tiga istilah yang bersepadanan untuk menunjukkan kemampuan
berdikari anak, yaitu autonomy, kompetensi, dan kemandirian. Menurutnya,
kompetensi berarti kemampuan untuk bersaing dengan individu-individu lain yang
normal. Kompetensi juga menunjuk pada suatu taraf mental yang cukup pada
individu untuk memikul tanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Istilah
autonomy seringkali disamaartikan dengan kemandirian, sehingga didefinisikan
bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan
bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten, dan bebas bertindak. Padahal
dalam perspektif Hanna Widjaja (1986) autonomy dan kemandirian adalah dua
konsep yang berbeda. Menurutnya, kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan
akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan
khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan
sendiri kegiatan-kegiatan, dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang
dihadapi.
Dalam pandangan Lerner
(1976), konsep kemandirian (autonomy) mencakup kebebasan untuk bertindak, tidan
tergantung kepada orang lain, tidak terpengaruh lingkungan dan bebas mengatur
kebutuhan sendiri. Konsep kemandirian ini hampir senada dengan yang diajukan
Watson dan Lindgren (1973) yang menyatakan bahwa kemandirian (autonomy) ialah
kebebasan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, gigih dalam usaha, dan
melakukan sendiri segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Dengan menggunakan
istilah autonomy, Steinberg mengkonsepsikan kemandirian sebagai self governing
person, yakni kemampuan menguasai diri sendiri.
Jika konsep-konsep di
atas dicermati, maka konsep kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai,
mengatur, atau mengelola diri sendiri. Remaja yang memiliki kemandirian
ditandai oleh kemampuannya untuk tidak tergantung secara emosional terhadap
orang lain terutama orang tua, mampu mengambil keputusan secara mandiri dan
konsekuen terhadap keputusan tersebut, serta kemampuan menggunakan (memiliki)
seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting
(Steinberg, 1995). Kemampuannya untuk tidak tergantung secara emosional
terhadap orang lain terutama orang tua disebut kemandirian emosional (emotional
autonomy), kemampuan mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap
keputusan tersebut disebut kemandirian behavioral (behavioral autonomy), serta
kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta
penting dan tidak penting disebut kemandirian nilai (values autonomy).
B.
Karakteristik Perkembangan
Kemandirian Pada Anak dan Remaja
Kemandirian (autonomy) merupakan salah satu tugas
perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun perkembangan masa remaja.
Steinberg menegaskan disebut fundamental karena pencapaian
kemandirian pada remaja sangat penting artinya dalam kerangka menjadi individu
dewasa. Bahkan pentingnya kemandirian diperoleh individu pada masa remaja sama
dengan pentingnya pencapaian identitas diri oleh mereka.
Sesungguhnya tidak mudah bagi remaja dalam memperjuangkan kemandiriannya.
Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan ikatan infantile yang telah
berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak. Bahkan
pemutusan ikatan infantile itu seringkali menimbulkan reaksi yang sulit
dipahami (misunderstood) bagi kedua belah pihak, remaja dan orang tua.
Terkadang remaja sering kali kesulitan dalam memutuskan simpul-simpul ikatan
emosional kekanak-kanakannya secara logis dan objektif. Dalam upayanya itu
mereka kadang-kadang harus menentang keinginan dan aturan orang tua. Orang tua
terkadang mempersepsi upaya pemutusan simpul-simpul ikatan infantil yang
dilakukan remaja sebagai pemberontakan atau peminggatan. Sekaitan dengan
kesulitan remaja – orang tua dalam memutuskan ikatan infantile dalam kerangka
pencapaian kemandiriannya.
Dalam analisis Steinberg jika remaja, terutama remaja awal,
mampu memutuskan simpul-simpul ikatan infantile maka ia akan melakukan separasi,
yakni pemisahan diri dari keluarga. Keberhasilan dalam melakukan separasi
inilah yang merupakan dasar bagi pencapaian kemandirian terutama kemandirian
yang bersifat independence. Dengan kata lain kemandirian yang pertama
muncul pada diri individu adalah kemandirian yang bersifat independence,
yakni lepasnya ikatan-ikatan emosional infantile individu sehingga ia dapat
menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan emosional dari orang tua.
Oleh karena itu pada masa remaja ada suatu pergerakan kemandirian yang dinamis
dari ketidakmandirian individu pada masa kanak-kanak menuju kemandirian yang
lebih bersifat autonomy pada masa dewasa.
Kemandirian emosional berkembang lebih awal dan menjadi
dasar bagi perkembangan kemandirian behavioral dan nilai. Sembari individu mengembangkan
secara lebih matang kemandirian emosionalnya, secara perlahan ia mengembangkan
kemandirian behavioralnya. Perkembangan kemandirian emosional dan behavioral
tersebut menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian nilai. Oleh karena itu,
pada diri individu kemandirian nilai berkembang lebih akhir dibanding kemandirian emosional dan
behavioral.
Kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis yang lain,
dapat berkembangan dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembangan
melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini.
Kemandirian pada anak di usia-usia
tertentu di tandai dengan beberapa perilaku anak, yaitu:
1.
Usia 1-2
tahun: Anak mampu minuman dari gelasnya sendiri tanpa tumpah, mulai makan sendiri dengan menggunakan sendok.
2.
Usia 2-3 tahun: Memberitahu orang dewasa kala
ingin buang air.
3.
Usia 3-4
tahun: Anak mampu ke kamar mandi sendiri.
4.
Usia 5-7
tahun: Anak mampu berpakaian sendiri, mengikat simpul tali sepatu.
5.
Usia 8-10
tahun: Anak sudah mampu membenahi peralatan pribadi seperti menyiapkan buku
sesuai jadwal pelajaran, mampu memenuhi kebutuhan sendiri, dll.
C.
Tipe-Tipe Perkembangan
Kemandirian Pada Anak dan Remaja
Steinberg membagi kemandirian dalam tiga tipe, yaitu kemandirian
emosional (emotional autonomy), kemandirian behavioral (behavioral autonomy),
dan kemandirian nilai (values autonomy). Kemandirian emosional (emotional
autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang berhubungan dengan
perubahan keterikatan hubungan emosional remaja dengan orang lain, terutama
dengan orang tua. Oleh karena itu kemandirian emosional didefinisikan sebagai
kemampuan remaja untuk tidak tergantung terhadap dukungan emosional orang lain,
terutama orang tua. Kemandirian behavioral (behavioral autonomy) pada remaja
ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan remaja membuat
keputusan secara bebas dan konsekuen atas keputusannya itu. Kemandirian nilai
(values autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada
kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, serta
penting dan tidak penting.
1.
Kemandirian Emosional (Emotional
Autonomy)
Pemudaran ikatan emosional anak dengan orang tua pada masa
remaja terjadi dengan sangat cepat. Percepatan pemudaran hubungan itu terjadi
seiring dengan semakin mandirinya remaja dalam mengurus diri sendiri. Dalam
analisis Berk (1994) konsekuensi dari semakin mampunya remaja mengurus dirinya sendiri
maka waktu yang diluangkan orang tua terhadap anak semakin berkurang dengan
sangat tajam. Proses ini sedikit besarnya memberikan peluang bagi remaja untuk
mengembangkan kemandiriannya terutama kemandirian emosional.
Proses psikososial lainnya yang mendorong remaja
mengembangkan kemandirian emosional adalah perubahan pengungkapan kasih sayang,
meningkatnya pendistribusian kewenangan dan tanggung jawab, dan menurunnya interaksi
verbal dan kesempatan perjumpaan bersama antara remaja dan orang tua, di satu
pihak dan semakin larutnya remaja dalam pola-pola hubungan teman sebaya untuk
menyelami hubungan dunia kehidupan yang baru di luar keluarga di pihak lain.
Kedua pihak ini lambat laun akan mengendorkan simpul-simpul ikatan emosional
infantil anak dengan orang tua.
Menjelang akhir masa remaja ketergantungan emosional remaja
terhadap orang tua menjadi semakin jauh berkurang menyusul semakin memuncaknya
kemandirian emosional mereka, meskipun ikatan emosional remaja terhadap orang
tua sesungguhnya tidak mungkin dapat diputuskan secara sempurna. Perlu dipahami
pula bahwa munculnya kemandirian emosional pada remaja bukan berarti pemberontakan
mereka terhadap keluarga, terutama orang tua atau pelepasan hubungan orang tua
anak. Oleh karena itu Steinberg dengan merujuk kepada penelitian Collins
(1990), Hill and Holmbeck (1986), dan Steinberg (1990) menegaskan adolescents
can become emotionally autonomous from their parents without becoming detached
from them.
Beberapa hasil studi terkini menunjukkan bahwa perkembangan
kemandirian emosional terjadi pada rentang waktu yang cukup lama. Perkembangannya
dimulai pada awal masa remaja (early in adolescence) dan dilanjutkan secara
lebih sempurna pada masa dewasa awal (young adulthood). Menurut Silverberg dan
Steinberg ada empat aspek kemandirian emosional, yaitu (1) sejauh mana remaja
mampu melakukan de-idealized terhadap orang tua, (2) sejauh mana remaja mampu memandang
orang tua sebagai orang dewasa umumnya (parents as people), (3) sejauh mana
remaja tergantung kepada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan
emosional orang lain (non dependency), dan (4) sejauh mana remaja mampu
melakukan individualisasi di dalam hubungannya dengan orang tua.
Aspek pertama dari kemandirian emosional adalah
de-idealized, yakni kemampuan remaja untuk tidak mengidealkan orang tuanya.
Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja memandang orang tua tidak selamanya
tahu, benar, dan memiliki kekuasaan, sehingga pada saat menentukan sesuatu maka
mereka tidak lagi bergantung kepada dukungan emosional orang tuanya. Menurut
penelitian yang dilakukan Smollar dan Younis tahun 1985 tidak mudah bagi remaja
untuk melakukan de-idealized. Bayangan masa kecil anak tentang kehebatan orang
tua tidak mudah untuk dilecehkan atau dikritik. Kesulitan untuk melakukan
de-idealized remaja terbukti dari hasil riset yang dilakukan Steinberg (1995 :
193) yang menemukan bahwa masih banyak remaja awal yang sudah mandiri secara
emosional. Mereka masih menganggap orang tua selamanya tahu, benar, dan
berkuasa atas dirinya. Mereka terkadang sulit sekedar untuk menerima pandangan
bahwa orang tua terkadang melakukan kesalahan.
Aspek kedua dari kemandirian emosional adalah pandangan
tentang parents as people, yakni kemampuan remaja dalam memandang orang tua sebagaimana
orang lain pada umumnya. Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja melihat orang
tua sebagai individu selain sebagai orang tuanya dan berinteraksi dengan orang
tua tidak hanya dalam hubungan orang tua-anak tetapi juga dalam hubungan antar
individu. Menurut Steinberg remaja pada
tingkat SMA tampak mengalami kesulitan dalam memandang orang tua sebagaimana orang
lain pada umumnya. Dalam analisisnya aspek kemandirian emosional ini sulit
berkembang dengan baik pada masa-masa remaja, mungkin bisa sampai dewasa muda.
Aspek ketiga dari kemandirian emosional adalah non dependency,
yakni suatu derajat di mana remaja tergantung kepada dirinya sendiri dari pada
kepada orang tuanya untuk suatu bantuan. Perilaku yang dapat dilihat ialah
mampu menunda keinginan untuk segera menumpahkan perasaan kepada orang lain, mampu
menunda keinginan untuk meminta dukungan emosional kepada orang tua atau orang
dewasa lain ketika menghadapi masalah.
Aspek keempat dari kemandirian emosional pada remaja adalah
mereka memiliki derajat individuasi dalam hubungan dengan orang tua
(individuated). Individuasi berarti berperilaku lebih bertanggung jawab. Perilaku
individuasi yang dapat dilihat ialah mampu melihat perbedaan antara pandangan
orang tua dengan pandangannya sendiri tentang dirinya, menunjukkan perilaku
yang lebih bertanggung jawab. Contoh perilaku remaja yang memiliki derajat
individuasi di antaranya mereka mengelola uang jajan dengan cara menabung tanpa
sepengetahuan orang tua. Collins dan Smatana berkeyakinan bahwa perkembangan individuasi ke
tingkat yang lebih tinggi didorong oleh perkembangan kognisi sosial mereka.
Kognisi sosial remaja yang dimaksud merujuk pada pemikiran mereka tentang diri
mereka dan hubungannya dengan orang lain. Misalnya, remaja berpandangan “Teman
saya berpendapat bahwa saya adalah seorang gadis baik, maka saya harus menjadi
gadis yang baik”.
2.
Kemandirian Behavioral (Behavioral
Autonomy)
Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) merupakan
kapasitas individu dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Remaja
yang memiliki kemandirian perilaku (behavioral autonomy) bebas dari pengaruh
pihak lain dalam menentukan pilihan dan keputusan. Tetapi bukan berarti mereka
tidak perlu pendapat orang lain. Bagi remaja yang memiliki kemandirian
behavioral memadai, pendapat/nasehat orang lain yang sesuai dijadikan sebagai
dasar pengembangan alternatif pilihan untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Melalui pertimbangan diri sendiri dan sugesti orang lain ia mengambil suatu
keputusan yang mandiri bagaimana seharusnya berperilaku/bertindak.
Kemandirian perilaku, khususnya kemampuan mandiri secara
fisik sesungguhnya sudah berkembang sejak usia anak (Hanna Widjaja, 1986) dan meningkat
dengan sangat tajam pada usia remaja. Peningkatannya itu bahkan lebih pesat
dari pada peningkatan kemandirian emosional. Ini bisa terjadi karena didukung
oleh perkembangan kognitif mereka yang semakin berkualitas. Dengan perkembangan
kognitif seperti ini remaja semakin mampu memandang ke depan, memperhitungkan
risiko-risiko dan kemungkinan hasil-hasil dari alternatif pilihan mereka, dan
mampu memandang bahwa nasehat seseorang bisa tercemar/ternoda oleh kepentingan-kepentingan
dirinya sendiri (Steinberg, 1993).
Menurut Steinberg ada tiga domain kemandirian perilaku (behavioral
autonomy) yang berkembang pada masa remaja.
-
Pertama, mereka memiliki kemampuan
mengambil keputusan yang ditandai oleh:
a.
menyadari adanya resiko dari
tingkah lakunya,
b.
memilih alternatif pemecahan
masalah didasarkan atas pertimbangan sendiri dan orang lain dan
c.
bertanggung jawab atas konsekuensi
dari keputusan yang diambilnya.
-
Kedua, mereka memiliki kekuatan
terhadap pengaruh pihak lain yang ditandai oleh:
a.
tidak mudah terpengaruh dalam
situasi yang menuntut konformitas,
b.
tidak mudah terpengaruh tekanan
teman sebaya dan orang tua dalam mengambil keputusan, dan
c.
memasuki kelompok sosial tanpa
tekanan.
-
Ketiga, mereka memiliki rasa percaya
diri (self reliance) yang ditandai oleh:
a.
merasa mampu memenuhi kebutuhan
sehari-hari di rumah dan di sekolah,
b.
merasa mampu memenuhi tanggung jawab
di rumah dan di sekolah,
c.
merasa mampu mengatasi sendiri
masalahnya,
d.
berani mengemukakan ide atau
gagasan.
3.
Kemandirian Nilai (Values
Autonomy)
Kemandirian nilai (values autonomy) merupakan proses yang
paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya,
terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari, umumnya
berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding kedua
tipe kemandirian lainnya. Kemandirian nilai (values autonomy) yang dimaksud
adalah kemampuan individu menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan orang lain
tentang keyakinan (belief) dalam bidang nilai.
Menurut Rest kemandirian nilai berkembang selama masa
remaja khususnya tahun-tahun remaja akhir. Perkembangannya didukung oleh
kemandirian emosional dan kemandirian perilaku yang memadai. Menurut Steinberg
(1993), dalam perkembangan kemandirian nilai, terdapat tiga perubahan yang
teramati pada masa remaja.
-
Pertama, keyakinan akan
nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief). Perilaku yang dapat dilihat
ialah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai. Misalnya,
remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat mengambil
keputusan yang bernilai moral.
-
Kedua, keyakinan akan nilai-nilai semakin
mengarah kepada yang bersifat prisip (principled belief). Perilaku yang dapat
dilihat ialah berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam bidang nilai.
-
Ketiga, keyakinan akan niali-nilai
semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang
diberikan oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya (independent belief). Perilaku
yang dapat dilihat ialah
a.
remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan
dan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain,
b.
berpikir sesuai dengan keyakinan
dan nilainya sendiri, dan
c.
bertingkah laku sesuai dengan keyakinan
dan nilainya sendiri. Misalnya remaja menggali kembali nilai-nilai yang selama
ini diyakini kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya merupakan proses
evaluasi akan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain.
Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat
ditelusuri pada karakteristik perubahan kognitif. Dengan meningkatnya kemampuan
rasional dan makin berkembangnya kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka
timbul minat-minat remaja pada bidang-bidang ideologi dan filosofi dan cara mereka
melihat persoalan-persoalan semakin mendetail. Oleh karena proses itu maka perkembangan
kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja
tentang moral, politik, ideologi, dan persoalan-persoalan agama.
Secara sekuensial perkembangan kemandirian nilai
mempersyaratkan perkembangan kemandirian emosional (emotional autonomy) dan
kemandirian perilaku (behavioral autonomy).
Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan
untuk melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan
kemandirian perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya mencari
kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan kepadanya (Steinberg, 1995).
Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada
masa remaja akhir atau dewasa muda. Remaja akhir merupakan kesempatan bagi
remaja untuk melakukan koreksi-koreksi, penegasan kembali, dan menilai ulang
terhadap keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang mereka warisi sejak masih
berada dalam ketergantungan masa kanak-kanaknya pada orang tua.
D.
Tahapan
Perkembangan Kemandirian
Kemandirian semakin
berkembang pada setiap masa perkembangan seiring pertambahan usia dan
pertambahan kemampuan. Perkembangan
kemandirian tersebut diidentifikasikan pada usia 0 – 2 tahun; usia 2 – 6 tahun;
usia 6 – 12 tahun; usia 12 – 15 tahun dan pada usia 15 – 18 tahun.
1.
Usia
0 sampai 2 tahun :
Sampai usia dua
tahun, anak masih dalam tahap mengenal lingkungannya, mengembangkan gerak-gerik
fisik dan memulai proses berbicara. Pada tahap ini anak masih sangat bergantung
pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam memenuhi kebutuhan dan
keinginannya.
2.
Usia
2 sampai 6 tahun :
Pada masa ini anak mulai
belajar untuk menjadi
manusia sosial dan belajar bergaul. Mereka mengembangkan otonominya seiring
dengan bertambahnya berbagai kemampuan dan keterampilan seperti keterampilan
berlari, memegang, melompat, memasang dan berkata-kata. Pada masa ini pula anak
mulai dikenalkan pada toilet
training, yaitu melatih anak
dalam buang air kecil atau air besar.
3.
Usia
6 sampai 12 tahun :
Pada masa ini anak
belajar untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya secara mandiri dan
bertanggung jawab. Pada masa ini anak belajar di jenjang sekolah dasar. Beban
pelajaran merupakan tuntutan agar anak belajar bertanggung jawab dan mandiri.
4.
Usia
12 sampai 15 tahun :
Pada usia ini anak
menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama (SMP). Masa ini merupakan masa
remaja awal di mana mereka sedang mengembangkan jati diri dan melalui proses
pencarian identitas diri. Sehubungan dengan itu pula rasa tanggung jawab dan
kemandirian mengalami proses pertumbuhan.
5.
Usia
15 sampai 18 tahun
Pada usia ini anak
sekolah di tingkat SMA. Mereka sedang mempersiapkan diri menuju proses
pendewasaan diri. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan menengahnya mereka
akan melangkah menuju dunia Perguruan Tinggi atau meniti karier, atau justru
menikah. Banyak sekali pilihan bagi mereka. Pada masa ini mereka diharapkan
dapat membuat sendiri pilihan yang sesuai baginya tanpa tergantung
pada orangtuanya. Pada
masa ini orangtua hanya perlu mengarahkan dan membimbing anak untuk
mempersiapkan diri dalam meniti perjalanan menuju masa depan.
E.
Faktor yang Dapat
Mempengaruhi Perkembanga Kemandirian Anak dan Remaja
Sebagaimana aspek-aspek psikologis lainnya, kemandirian
juga bukanlah semata-mata merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu
sejak lahir. Perkembangan juga dipengaruhi oleh berbagai stimulasi yang datang
dari lingkungannya, selain potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagi
keturunan dari orang tuanya. Ada sejumah faktor yang sering disebut sebagi
korelat bagi perkembangan kemandirian yaitu sebagi berikut: (Ali, 2006)
a)
Gen atau keturunan orang tua.
Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena adanya pendapat
bahwa sesungguhnya bukan karena sifat kemandirian orang tuanya itu menurun
kepada anaknya, melainkan karena sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara
orang tuanya mendidik anaknya.
b)
Sistem pendidikan di sekolah.
c)
Sistem kehidupan di masyarakat.
Menurut Hurlock faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian
adalah:
a)
Pola asuh orang tua
b)
Jenis kelamin
c)
Urutan posisi anak
Menurut Markum (1985) faktor-faktor yang dapat mepengaruhi
terbentuknya kemampuan berdiri sendiri pada anak adalah:
a)
Kebiasaan serba dibantu dan
dilayani
b)
Sikap orang tua
c)
Kurangnya kegiatan diluar rumah
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan oleh ketiga
tokoh tersebut, dimana dalam paparannya tentang faktor-faktor penghambat
kemandirian terdapat kesamaan antara satu dengan yang lainnya. Dari beberapa
pendapat tersebut akan menjadi lebih baik lagi, jika antara pendapat yang satu
dengan yang lainnya saling mengisi kekurangan diantara berbagai pendapat
tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan terhambatnya kemandirian adalahgen atau keturunan oarang tua. Pola
asuh orang tua, jenis kelamin, urutan posisi anak, kebiasaan serba dibantu,
sikap orang tua, kurangnya kegiatan diluar rumah, sistem pendidikan disekolah
atau perguruan dan sisitem kehidupan masyarakat.
F.
Upaya Pengembangan
Kemandirian Remaja dan Implikasinya bagi Pendidikan
Dengan asumsi bahwa kemandirian sebagai aspek psikologis
itu berkembang tidak dalam kevakuman atau diturunkan oleh orang tuanya, maka
intervensi-intervensi positif melalui ikhtiar pengembangan atau pendidikan
sangat diperlukan bagi kelancarana perkembangan kemandirian remaja.
Sejumlah
intervensi dapat dilakukan antara lain:
1.
Penciptaan partisipasi dan
keterlibatan remaja dalam keluarga
2.
Penciptaan keterbukaan
3.
Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasikan
lingkungan
4.
Penerimaan positif tanpa syarat
5.
Empati terhadapt remaja
a.
Penciptaan kehangatan hubungan
dengan remaja.
b.
Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan
anak merasa dihargai
c.
Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan
dalam berbagai kegiatan sekolah
d.
Memberi kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan, mendorong
rasa ingin tahu mereka
e.
Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan
anak yang satu dengan yang lain
f.
Menjalin
hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak
G.
Konsep Perkembangan Karir
Karir sering diartikan sebagai pekerjaan atau profesi
seseorang yang menghasilkan sesuatu dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kata ‘karir’
lebih merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang ditekuni dan diyakini sebagai
panggilan hidup, yang meresapi seluruh alam pikiran dan perasaan seseorang,
serta mewarnai seluruh gaya hidupnya (Winkel, 1991).
Menurut Beaomont, Cooper, dan Stockhard yang dimaksud degan
perkembangan karir adalah suatu proses perkembangan sepanjang hidup yang
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pekerjaan, pengalaman lainnya, dan
yang mempengaruhi putusan-putusan setiap individu mengenai karir dan gaya hidup.
Menurut Manrihu perkembangan karir menunjukan proses seumur hidup dalam
mengembangkan nilai-nilai kerja.
Dengan demikian, perkembangan karir adalah suatu proses
panjang yang terjadi sepanjang kehidupan seorang manusia, dan mencakup setiap
peran serta posisi yang dijalaninya (Gysber dalam seligman).
Perkembangan karir bukan hanya proses membuat keputusan
untuk memilih suatu pekerjaan, tapi merefleksikan seluruh pengalaman hidup
seseorang dan membawa dampak terhadap seluruh aspek kehidupannya. Jadi
perkembangan karir merupakan suatu proses yang mencakup seluruh rentang
kehidupan sesorang.
Pemilihan karir merupakan perpaduan antara faktor yang ada
di dalam individu (internal) dan faktor dari luar (eksternal). faktor yang
berada di dalam individu seperti kemampuan yang dimiliki individu dan
bakat-bakat khusus yang akan memepengaruhi kepribadian individu berkembang.
Sedangkan faktor yang bersifat eksternal yaitu aspek-aspek lingkungan
sosial-ekonomi, seperti lingkungan masyarakat, sekolah, keluarga, teman sebaya,
dan keadaan ekonomi, kesejahteraan, dan ketenagakerjaan serta seluruh kondisi
yang mengharuskan individu untuk berinteraksi.
Mengingat betapa pentingnya masalah karir dalam kehidupan
manussia, maka sejak dini anak perlu disiapkan dan dibantu untuk merencanakan
hari depan yang lebih cerah, dengan cara memberikan pendidikan dan bimbingan
karir yang berkelanjutan
H.
Orientasi Karier Pada Anak
dan Remaja
Orientasi
karir pada anak dan remaja merupakan tahap dimana anak dan remaja dikenalkan
dengan dunia yang akan digelutinya kelak. Dalam buku edisi revisinya Ginzberg
dkk (1972) menegaskan bahwa proses pilihan karir itu terjadi sepanjang hidup
manusia, artinya bahwa suatu ketika dimungkinkan orang berubah pikiran. Hal ini
berarti bahwa pilihan karir tidaklah terjadi sekali saja dalam hidup manusia.
Disamping itu Ginzberg juga menyadari bahwa faktor peluang/kesempatan memegang
peranan yang amat penting. Meskipun seorang remaja sudah menentukan pilihan
karirnya berdasarkan minat, bakat, dan nilai yang ia yakini, tetapi kalau
peluang/kesempatan untuk bekerja pada bidang itu tertutup karena ‘’tidak ada
lowongan’’, maka karir yang akan dicita-citakan akhirnya tidak bisa terwujud.
Dan pada akhirnya Tuhan-lah yang menentukan segalanya, manusia hanya
berkemampuan untuk berusaha semampunya.
I.
Karakteristik Fase
Perkembangan Karir Anak dan Remaja Berdasarkan Usia
Menurut Ginzberg, Axelrad dan Herman, perkembangan karir
dibagi menjadi 3 tahap pokok yaitu:
1.
Tahap Fantasi : 0-11 tahun ( Masa Sekolah Dasar)
Pada
tahap ini anak mulai berfantasi mengenai cita-citanya. Fantasi ini banyak
dipengaruhi oleh lingkungan baik itu di kehidupan nyata atau hanya sekedar
melalui media, sperti televisi ataupun internet. Pada tahap ini anak menentukan
karirnya tanpa pertimbangan yang rasional.
2.
Tahap Tentatif : 12-18 tahun (Masa Sekolah Menengah)
Pada
tahap tentatif anak mulai menyadari bahwa mereka memiliki minat dan kemampuan
yang berbeda satu sama lain. Tahap tentatif ini dibagi menjadi 4 sub tahap,
yakni:
a.
Sub Tahap Minat (11-12 tahun)
Anak cenderung
melakukan pekerjaan atau kegiatan hanya yang sesuai dengan minat dan kesukaan
mereka saja.
b.
Sub Tahap Kapasitas Kemampuan
(13-14 tahun)
Anak
mulai melakukan pekerjaan/kegiatan didasarkan kepada kemampuan masing-masing,
disamping minat dan hobinya.
c.
Sub Tahap Nilai (15-16 tahun)
Anak
sudah bisa membedakan mana kegiatan/pekerjaan yang dihargai oleh masyarakat dan
mana yang kurang dihargai.
d.
Sub Tahap Transisi (17-18 tahun)
Anak
sudah mampu memikirkan atau merencanakan karir mereka berdasarkan minat, kemampuan
dan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan.
3.
Tahap Realistis : 19-25 tahun (Masa Perguruan Tinggi)
Pada
usia perguruan tinggi (usia 18 tahun ke atas) remaja memasuki tahap realistis,
dimana mereka sudah mengenal secara lebih baik minat-minat, kemampuan, dan
nilai-nilai yang ingin dikejar. Lebih lagi mereka juga sudah lebih menyadari
berbagai bidang pekerjaan dengan segala konsekuensi dan tuntutannya
masing-masing. Oleh sebab itu, pada tahap realistisseorang remaja sudah mampu
membuat perencanaan karir secara lebih rasional dan objektif.
Sedangkan menurut Donald Super, perkembangan karir manusia
dapat dibagi menjadi 5 fase yaitu:
1.
Fase pengembangan (Growth) yang
meliputi masa kecil sampai usia 15 tahun.
Dalam
fase ini anak mengembangkan bakat, minat, kebutuhan, dan potensi yang akhirnya
dipadukan dalam struktur konsep diri (self-concept structure)
2.
Fase Eksplorasi (Exploration)
antara umur 16-24 tahun, dimana saat ini remaja mulai memikirkan beberapa
alternatif pekerjaan tetapi belum mengambil keputusan yang menikat.
3.
Fase Pemanta[an (Establishment)
antara umur 25-44 tahun.
Pada
fase ini remaja sudah memilih karir tertentu dan mendapatkan berbagai
pengalaman positif maupun negatif dari pekerjaan. Dengan pengalaman yang
diperoleh ia lalu bisa menentukan apakah ia kan terus dengan karir yang telah
dijalani atau berubah haluan.
4.
Fase Pembinaan (Maintenance)
antara umur 25-44 tahun.
Pada
fase ini dimana orang sudah mantab dengan pekerjaannya dan memeliharanya agar
dia bertekun sampai akhir.
5.
Fase Kemunduran (Decline) masa
sesudah pensiun atau melepaskan jabatan tertentu.
Dalam
fase ini orang membebaskan dari dunia kerja formal.
J.
Faktor yang Dapat
Mempengaruhi Perkembangan Karier Anak dan Remaja
Faktor yang mempengaruhi perkembangan karir anak dan remaja
dibagi menjadi dua bagain yaitu:
a.
Faktor Internal
1.
Nilai-nilai kehidupan (Values),
yaitu beberapa ideal yang dikejar seseorang dimana-mana dan kapan juga.
Nilai-nilai menjadi pedoman atau pegangan dalam hidup samapai tua dan sangan
menentukan gaya hidup seseorang, namun, belum dapat ditujukkan kaitan langsung
antara nilai-nilai kehidupan yang dianut seseorang dan aneka bidang pekerjaan.
2.
Taraf intelegensi, yaitu kemampuan
berfikir untuk mencapai prestaso-prestasi.
3.
Bakat khusus, yaitu kemampuan yang
menonjol di suatu bidang usaha kognitif, bidang keterampilan, atau bidang
kesenian.
4.
Minat, yaitu kecenderungan yang
relatif menetap pada seseorang untuk merasa tertarik pada suatu bidang tertentu
dan merasa senang berkecimpung dalam berbagai kegiatan dengan bidang itu.
5.
Sifat-sifat, yaitu ciri-ciri
kepribadian yang bersama-sama memberikan corak khas pada seseorang, seperti:
periang, ramah, halus, teliti, terbuka, fleksibel, tertutup, pesimis, atau
ceroboh.
6.
Pengetahuan, yaitu informasi yang
dimiliki tentang bidang-bidang pekerjaan dan diri sendiri secara akurat.
7.
Keadaan jasmani, yaitu ciri-ciri
fisik yang dimiliki seseorang seperti tinggi badan, tampan, ketajaman
pengelihatan dan pendengaran, serta jenis kelamin.
b.
Faktor Eksternal
1.
Masyarakat, yaitu lingkungan
sosial-budaya dimana individu dibesarkan.
2.
Keadaan sosial ekonomi negara atau
daerah, yaitu laju pertumbuhan ekonomi yang lambat atau cepat, sertifikasi
masyarakat, serta diversifikasi masyarakat atas kelompok yang terbuka atau
tertutup dari kelompok lain.
3.
Status ekonomi keluarga, yaitu
tingkat pendidikan orangtua, tinggi rendahnya pendapatan orangtua, jabatan ayah
dan ibu, daerah tempat tinggal dan suku bangsa.
4.
Pengaruh dari seluruh anggota
keluarga ini (genogram).
5.
Pendidikan sekolah, yaitu
pandangan dan sikap yang dikomunikasikan kepada anak didik oleh staf petugas
bimbingan dan tenaga pengajar mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam
bekerja, tinggi rendahnya status sosial jabatan tertentu, dan kesesuaian
jabatan tertentu untuk anak laki-laki atau perempuan.
6.
Pergaulan dengan tean sebaya,
yaitu beraneka ragam pandangan dan variasi harapan tentang masa depan yang
terungkap dalam pergaulan sehari-hari.
7.
Tuntutan yang melekat pada
masing-masing jabatan dan pada setiap program studi atau latihan, yang
mempersiapkan seseorang untuk diterima pada jabatan tertentu dan berhasil
didalamnya.
K.
Perkembangan Remaja Dalam Berkarir
Teori Tipe Kepribadian Holland
Disini dijelaskan
bahwa perlu dilakukan sesuatu usaha agar pilihan karir seseorang sesuai dengan
kepribadiannya. Bila seseorang menemukan karir yang sesuai dengan
kepribadiannya, maka ia akan lebih menikmati pekerjaan tersebut dan bekerja di
bidang tersebut lebih lama daripada orang yang bekerja di bidang yang tidak
cocok dengan kepribadiannya. Menurut Holland ada 6 tipe kepribadian yang perlu
dipertimbangkan saat mencari kecocokan antara aspek-aspek psikologis seseorang
dengan karir mana yang akan dipilih, yaitu :
1.
Realistis. Orang yang memperlihatkan karakteristik maskulin. Kuat secara fisik,
menyelesaikan masalah dari sisi praktisnya dan memiliki kemampuan sosial yang
rendah. Mereka paling cocok bekerja pada situasi praktis sebagai buruh, petani,
pengemudi bis, dan tukang bangunan.
2.
Intelektual. Orang-orang ini memiliki orientasi konseptual dan teoretis. Mereka lebih
tepat menjadi pemikir daripada pekerja. Mereka seringkali menghindari hubungan
interpersonal dan paling cocok untuk pekerjaan yang berhubungan dengan
matematika atau keilmuan.
3. Sosial. Orang-orang ini sering memperlihatkan trait feminin,
khususnya yang berhubungan dengan kemampuan verbal dan interpersonal. Mereka
paling mungkin dipersiapkan untuk masuk profesi yang berhubungan dengan orang
banyak seperti mengajar, menjadi pekerja sosial, konseling.
4. Konvensional. Orang-orang ini memperlihatkan
ketidaksenangannya terhadap kegiatan yang tidak teratur dengan rapi. Mereka
paling cocok menjadi bawahan, seperti sekretaris, teller bank, atau pekerjaan
administratif lainnya.
5. Menguasai (enterprising). Orang-orang ini
menggunakan kata-katanya untuk memimpin orang lain, mendominasi orang lain, dan
menjual berita tau produk. Mereka paling cocok memiliki karir yang berhubungan
dengan penjualan, sales, politikus, atau manajemen.
6. Artistik. Mereka adalah orang yang lebih suka
berinteraksi dengan dunia mereka melalui ekspresi seni, menghindari situasi
interpersonal serta konvensional dalam banyak kasus. Para remaja tipe ini
sebaiknya diarahkan ke karir seni atau penulisan.
sumber :