Selasa, 30 Juli 2013

perkembangan kemandirian dan karir



A.     Konsep Kemandirian
Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutupi diri terhadap berbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan.
Kemandirian merupakan salah satu tugas pokok perkembangan. Untuk pencapaiannya harus diterapkan sejak dini dalam diri anak, agar anak mampu melaksanakan segala sesuatu dengan kemampuannya sendiri yang dominan, dimana anak tersebut mampu menyelesaikan tugas dengan kemampuan tanpa di dominasi bantuan dari orang lain.
Kemandirian pada remaja lebih mengarah ke tindakan yang melibatkan hati dan pemikiran (psikis). Hal ini diperkuat pernyataan ahli perkembangan yang menyatakan: “Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak uang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan kebebasan berprilaku sesuai dengan keinginanya”. Memberikan kesempatan kepada remaja untuk menentukan pilihan-pilihan sederhana akan menumbuhkan rasa percaya diri dalam dirinya sehingga seterusnya ia akan mampu memutuskan perkara yang lebih pelik.
Dalam teori kemandirian yang dikembangkan Steinberg (1995) istilah independence dan autonomy sering disejajarartikan secara silih berganti (interchangeable) sesuai dengan konsep kedua istilah tersebut. Meski secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yakni kemandirian, tetapi sesungguhnya secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda.
Secara leksikal independence berarti kemerdekaan atau kebebasan. Secara konseptual independence mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Berdasarkan konsep independence ini Steinberg (1995) menjelaskan bahwa anak yang sudah mencapai independence ia mampu menjalankan atau melakukan sendiri aktivitas hidup terlepas dari pengaruh kontrol orang lain terutama orang tua. Misalnya, ketika anak ingin buang air kecil ia langsung pergi ke toilet, tidak merengekrengek meminta dibantu buka celana atau minta dicarikan tempat kencing. Kemandirian yang mengarah kepada konsep independence ini merupakan bagian dari perkembangan autonomy selama masa remaja, hanya saja autonomy mencakup dimensi emosional, behavioral, dan nilai.
Hanna Widjaja (1986), mengemukakan tiga istilah yang bersepadanan untuk menunjukkan kemampuan berdikari anak, yaitu autonomy, kompetensi, dan kemandirian. Menurutnya, kompetensi berarti kemampuan untuk bersaing dengan individu-individu lain yang normal. Kompetensi juga menunjuk pada suatu taraf mental yang cukup pada individu untuk memikul tanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Istilah autonomy seringkali disamaartikan dengan kemandirian, sehingga didefinisikan bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten, dan bebas bertindak. Padahal dalam perspektif Hanna Widjaja (1986) autonomy dan kemandirian adalah dua konsep yang berbeda. Menurutnya, kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri kegiatan-kegiatan, dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi.
Dalam pandangan Lerner (1976), konsep kemandirian (autonomy) mencakup kebebasan untuk bertindak, tidan tergantung kepada orang lain, tidak terpengaruh lingkungan dan bebas mengatur kebutuhan sendiri. Konsep kemandirian ini hampir senada dengan yang diajukan Watson dan Lindgren (1973) yang menyatakan bahwa kemandirian (autonomy) ialah kebebasan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, gigih dalam usaha, dan melakukan sendiri segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Dengan menggunakan istilah autonomy, Steinberg mengkonsepsikan kemandirian sebagai self governing person, yakni kemampuan menguasai diri sendiri.
Jika konsep-konsep di atas dicermati, maka konsep kemandirian adalah kemampuan untuk menguasai, mengatur, atau mengelola diri sendiri. Remaja yang memiliki kemandirian ditandai oleh kemampuannya untuk tidak tergantung secara emosional terhadap orang lain terutama orang tua, mampu mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan tersebut, serta kemampuan menggunakan (memiliki) seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting (Steinberg, 1995). Kemampuannya untuk tidak tergantung secara emosional terhadap orang lain terutama orang tua disebut kemandirian emosional (emotional autonomy), kemampuan mengambil keputusan secara mandiri dan konsekuen terhadap keputusan tersebut disebut kemandirian behavioral (behavioral autonomy), serta kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting disebut kemandirian nilai (values autonomy).
B.      Karakteristik Perkembangan Kemandirian Pada Anak dan Remaja
Kemandirian (autonomy) merupakan salah satu tugas perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun perkembangan masa remaja. Steinberg  menegaskan disebut fundamental karena pencapaian kemandirian pada remaja sangat penting artinya dalam kerangka menjadi individu dewasa. Bahkan pentingnya kemandirian diperoleh individu pada masa remaja sama dengan pentingnya pencapaian identitas diri oleh mereka.
Sesungguhnya tidak mudah bagi remaja dalam memperjuangkan kemandiriannya. Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan ikatan infantile yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak-kanak. Bahkan pemutusan ikatan infantile itu seringkali menimbulkan reaksi yang sulit dipahami (misunderstood) bagi kedua belah pihak, remaja dan orang tua. Terkadang remaja sering kali kesulitan dalam memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kekanak-kanakannya secara logis dan objektif. Dalam upayanya itu mereka kadang-kadang harus menentang keinginan dan aturan orang tua. Orang tua terkadang mempersepsi upaya pemutusan simpul-simpul ikatan infantil yang dilakukan remaja sebagai pemberontakan atau peminggatan. Sekaitan dengan kesulitan remaja – orang tua dalam memutuskan ikatan infantile dalam kerangka pencapaian kemandiriannya.
Dalam analisis Steinberg jika remaja, terutama remaja awal, mampu memutuskan simpul-simpul ikatan infantile maka ia akan melakukan separasi, yakni pemisahan diri dari keluarga. Keberhasilan dalam melakukan separasi inilah yang merupakan dasar bagi pencapaian kemandirian terutama kemandirian yang bersifat independence. Dengan kata lain kemandirian yang pertama muncul pada diri individu adalah kemandirian yang bersifat independence, yakni lepasnya ikatan-ikatan emosional infantile individu sehingga ia dapat menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan emosional dari orang tua. Oleh karena itu pada masa remaja ada suatu pergerakan kemandirian yang dinamis dari ketidakmandirian individu pada masa kanak-kanak menuju kemandirian yang lebih bersifat autonomy pada masa dewasa.
Kemandirian emosional berkembang lebih awal dan menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian behavioral dan nilai. Sembari individu mengembangkan secara lebih matang kemandirian emosionalnya, secara perlahan ia mengembangkan kemandirian behavioralnya. Perkembangan kemandirian emosional dan behavioral tersebut menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian nilai. Oleh karena itu, pada diri individu kemandirian nilai berkembang lebih akhir dibanding kemandirian emosional dan behavioral.
Kemandirian, seperti halnya kondisi psikologis yang lain, dapat berkembangan dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembangan melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini.
Kemandirian pada anak di usia-usia tertentu di tandai dengan beberapa perilaku anak, yaitu:
1.      Usia 1-2 tahun: Anak mampu minuman dari gelasnya sendiri tanpa tumpah, mulai  makan sendiri dengan menggunakan sendok.
2.       Usia 2-3 tahun: Memberitahu orang dewasa kala ingin buang air.
3.      Usia 3-4 tahun: Anak mampu ke kamar mandi sendiri.
4.      Usia 5-7 tahun: Anak mampu berpakaian sendiri, mengikat simpul tali sepatu.
5.      Usia 8-10 tahun: Anak sudah mampu membenahi peralatan pribadi seperti menyiapkan buku sesuai jadwal pelajaran, mampu memenuhi kebutuhan sendiri, dll.
C.     Tipe-Tipe Perkembangan Kemandirian Pada Anak dan Remaja
Steinberg membagi kemandirian dalam tiga tipe, yaitu kemandirian emosional (emotional autonomy), kemandirian behavioral (behavioral autonomy), dan kemandirian nilai (values autonomy). Kemandirian emosional (emotional autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional remaja dengan orang lain, terutama dengan orang tua. Oleh karena itu kemandirian emosional didefinisikan sebagai kemampuan remaja untuk tidak tergantung terhadap dukungan emosional orang lain, terutama orang tua. Kemandirian behavioral (behavioral autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan remaja membuat keputusan secara bebas dan konsekuen atas keputusannya itu. Kemandirian nilai (values autonomy) pada remaja ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, serta penting dan tidak penting.
1.    Kemandirian Emosional (Emotional Autonomy)
Pemudaran ikatan emosional anak dengan orang tua pada masa remaja terjadi dengan sangat cepat. Percepatan pemudaran hubungan itu terjadi seiring dengan semakin mandirinya remaja dalam mengurus diri sendiri. Dalam analisis Berk (1994) konsekuensi dari semakin mampunya remaja mengurus dirinya sendiri maka waktu yang diluangkan orang tua terhadap anak semakin berkurang dengan sangat tajam. Proses ini sedikit besarnya memberikan peluang bagi remaja untuk mengembangkan kemandiriannya terutama kemandirian emosional.
Proses psikososial lainnya yang mendorong remaja mengembangkan kemandirian emosional adalah perubahan pengungkapan kasih sayang, meningkatnya pendistribusian kewenangan dan tanggung jawab, dan menurunnya interaksi verbal dan kesempatan perjumpaan bersama antara remaja dan orang tua, di satu pihak dan semakin larutnya remaja dalam pola-pola hubungan teman sebaya untuk menyelami hubungan dunia kehidupan yang baru di luar keluarga di pihak lain. Kedua pihak ini lambat laun akan mengendorkan simpul-simpul ikatan emosional infantil anak dengan orang tua.
Menjelang akhir masa remaja ketergantungan emosional remaja terhadap orang tua menjadi semakin jauh berkurang menyusul semakin memuncaknya kemandirian emosional mereka, meskipun ikatan emosional remaja terhadap orang tua sesungguhnya tidak mungkin dapat diputuskan secara sempurna. Perlu dipahami pula bahwa munculnya kemandirian emosional pada remaja bukan berarti pemberontakan mereka terhadap keluarga, terutama orang tua atau pelepasan hubungan orang tua anak. Oleh karena itu Steinberg dengan merujuk kepada penelitian Collins (1990), Hill and Holmbeck (1986), dan Steinberg (1990) menegaskan adolescents can become emotionally autonomous from their parents without becoming detached from them.
Beberapa hasil studi terkini menunjukkan bahwa perkembangan kemandirian emosional terjadi pada rentang waktu yang cukup lama. Perkembangannya dimulai pada awal masa remaja (early in adolescence) dan dilanjutkan secara lebih sempurna pada masa dewasa awal (young adulthood). Menurut Silverberg dan Steinberg ada empat aspek kemandirian emosional, yaitu (1) sejauh mana remaja mampu melakukan de-idealized terhadap orang tua, (2) sejauh mana remaja mampu memandang orang tua sebagai orang dewasa umumnya (parents as people), (3) sejauh mana remaja tergantung kepada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan emosional orang lain (non dependency), dan (4) sejauh mana remaja mampu melakukan individualisasi di dalam hubungannya dengan orang tua.
Aspek pertama dari kemandirian emosional adalah de-idealized, yakni kemampuan remaja untuk tidak mengidealkan orang tuanya. Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja memandang orang tua tidak selamanya tahu, benar, dan memiliki kekuasaan, sehingga pada saat menentukan sesuatu maka mereka tidak lagi bergantung kepada dukungan emosional orang tuanya. Menurut penelitian yang dilakukan Smollar dan Younis tahun 1985 tidak mudah bagi remaja untuk melakukan de-idealized. Bayangan masa kecil anak tentang kehebatan orang tua tidak mudah untuk dilecehkan atau dikritik. Kesulitan untuk melakukan de-idealized remaja terbukti dari hasil riset yang dilakukan Steinberg (1995 : 193) yang menemukan bahwa masih banyak remaja awal yang sudah mandiri secara emosional. Mereka masih menganggap orang tua selamanya tahu, benar, dan berkuasa atas dirinya. Mereka terkadang sulit sekedar untuk menerima pandangan bahwa orang tua terkadang melakukan kesalahan.
Aspek kedua dari kemandirian emosional adalah pandangan tentang parents as people, yakni kemampuan remaja dalam memandang orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja melihat orang tua sebagai individu selain sebagai orang tuanya dan berinteraksi dengan orang tua tidak hanya dalam hubungan orang tua-anak tetapi juga dalam hubungan antar individu. Menurut Steinberg  remaja pada tingkat SMA tampak mengalami kesulitan dalam memandang orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Dalam analisisnya aspek kemandirian emosional ini sulit berkembang dengan baik pada masa-masa remaja, mungkin bisa sampai dewasa muda.
Aspek ketiga dari kemandirian emosional adalah non dependency, yakni suatu derajat di mana remaja tergantung kepada dirinya sendiri dari pada kepada orang tuanya untuk suatu bantuan. Perilaku yang dapat dilihat ialah mampu menunda keinginan untuk segera menumpahkan perasaan kepada orang lain, mampu menunda keinginan untuk meminta dukungan emosional kepada orang tua atau orang dewasa lain ketika menghadapi masalah.
Aspek keempat dari kemandirian emosional pada remaja adalah mereka memiliki derajat individuasi dalam hubungan dengan orang tua (individuated). Individuasi berarti berperilaku lebih bertanggung jawab. Perilaku individuasi yang dapat dilihat ialah mampu melihat perbedaan antara pandangan orang tua dengan pandangannya sendiri tentang dirinya, menunjukkan perilaku yang lebih bertanggung jawab. Contoh perilaku remaja yang memiliki derajat individuasi di antaranya mereka mengelola uang jajan dengan cara menabung tanpa sepengetahuan orang tua. Collins dan Smatana  berkeyakinan bahwa perkembangan individuasi ke tingkat yang lebih tinggi didorong oleh perkembangan kognisi sosial mereka. Kognisi sosial remaja yang dimaksud merujuk pada pemikiran mereka tentang diri mereka dan hubungannya dengan orang lain. Misalnya, remaja berpandangan “Teman saya berpendapat bahwa saya adalah seorang gadis baik, maka saya harus menjadi gadis yang baik”.
2.    Kemandirian Behavioral (Behavioral Autonomy)
Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) merupakan kapasitas individu dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Remaja yang memiliki kemandirian perilaku (behavioral autonomy) bebas dari pengaruh pihak lain dalam menentukan pilihan dan keputusan. Tetapi bukan berarti mereka tidak perlu pendapat orang lain. Bagi remaja yang memiliki kemandirian behavioral memadai, pendapat/nasehat orang lain yang sesuai dijadikan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Melalui pertimbangan diri sendiri dan sugesti orang lain ia mengambil suatu keputusan yang mandiri bagaimana seharusnya berperilaku/bertindak.
Kemandirian perilaku, khususnya kemampuan mandiri secara fisik sesungguhnya sudah berkembang sejak usia anak (Hanna Widjaja, 1986) dan meningkat dengan sangat tajam pada usia remaja. Peningkatannya itu bahkan lebih pesat dari pada peningkatan kemandirian emosional. Ini bisa terjadi karena didukung oleh perkembangan kognitif mereka yang semakin berkualitas. Dengan perkembangan kognitif seperti ini remaja semakin mampu memandang ke depan, memperhitungkan risiko-risiko dan kemungkinan hasil-hasil dari alternatif pilihan mereka, dan mampu memandang bahwa nasehat seseorang bisa tercemar/ternoda oleh kepentingan-kepentingan dirinya sendiri (Steinberg, 1993).
Menurut Steinberg ada tiga domain kemandirian perilaku (behavioral autonomy) yang berkembang pada masa remaja.
-          Pertama, mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai oleh:
a.    menyadari adanya resiko dari tingkah lakunya,
b.    memilih alternatif pemecahan masalah didasarkan atas pertimbangan sendiri dan orang lain dan
c.    bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambilnya.
-          Kedua, mereka memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain yang ditandai oleh:
a.    tidak mudah terpengaruh dalam situasi yang menuntut konformitas,
b.    tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya dan orang tua dalam mengambil keputusan, dan
c.    memasuki kelompok sosial tanpa tekanan.
-          Ketiga, mereka memiliki rasa percaya diri (self reliance) yang ditandai oleh:
a.    merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di sekolah,
b.    merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di sekolah,
c.    merasa mampu mengatasi sendiri masalahnya,  
d.   berani mengemukakan ide atau gagasan.
3.    Kemandirian Nilai (Values Autonomy)
Kemandirian nilai (values autonomy) merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya tidak disadari, umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai secara sempurna dibanding kedua tipe kemandirian lainnya. Kemandirian nilai (values autonomy) yang dimaksud adalah kemampuan individu menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan orang lain tentang keyakinan (belief) dalam bidang nilai.
Menurut Rest kemandirian nilai berkembang selama masa remaja khususnya tahun-tahun remaja akhir. Perkembangannya didukung oleh kemandirian emosional dan kemandirian perilaku yang memadai. Menurut Steinberg (1993), dalam perkembangan kemandirian nilai, terdapat tiga perubahan yang teramati pada masa remaja.
-          Pertama, keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai. Misalnya, remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral.
-          Kedua, keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada yang bersifat prisip (principled belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai.
-          Ketiga, keyakinan akan niali-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang diberikan oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya (independent belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah
a.    remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan dan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain,
b.    berpikir sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan
c.    bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri. Misalnya remaja menggali kembali nilai-nilai yang selama ini diyakini kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya merupakan proses evaluasi akan nilai-nilai yang diterimanya dari orang lain.
Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat ditelusuri pada karakteristik perubahan kognitif. Dengan meningkatnya kemampuan rasional dan makin berkembangnya kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka timbul minat-minat remaja pada bidang-bidang ideologi dan filosofi dan cara mereka melihat persoalan-persoalan semakin mendetail. Oleh karena proses itu maka perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral, politik, ideologi, dan persoalan-persoalan agama.

Secara sekuensial perkembangan kemandirian nilai mempersyaratkan perkembangan kemandirian emosional (emotional autonomy) dan kemandirian perilaku (behavioral autonomy).
Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan untuk melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan kepadanya (Steinberg, 1995). Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda. Remaja akhir merupakan kesempatan bagi remaja untuk melakukan koreksi-koreksi, penegasan kembali, dan menilai ulang terhadap keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang mereka warisi sejak masih berada dalam ketergantungan masa kanak-kanaknya pada orang tua.
D.     Tahapan Perkembangan Kemandirian
Kemandirian semakin berkembang pada setiap masa perkembangan seiring pertambahan usia dan pertambahan kemampuan. Perkembangan kemandirian tersebut diidentifikasikan pada usia 0 – 2 tahun; usia 2 – 6 tahun; usia 6 – 12 tahun; usia 12 – 15 tahun dan pada usia 15 – 18 tahun.
1.      Usia 0 sampai 2 tahun :
Sampai usia dua tahun, anak masih dalam tahap mengenal lingkungannya, mengembangkan gerak-gerik fisik dan memulai proses berbicara. Pada tahap ini anak masih sangat bergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
2.      Usia 2 sampai 6 tahun :
Pada masa ini anak mulai belajar untuk menjadi manusia sosial dan belajar bergaul. Mereka mengembangkan otonominya seiring dengan bertambahnya berbagai kemampuan dan keterampilan seperti keterampilan berlari, memegang, melompat, memasang dan berkata-kata. Pada masa ini pula anak mulai dikenalkan pada toilet training, yaitu melatih anak dalam buang air kecil atau air besar.
3.      Usia 6 sampai 12 tahun :
Pada masa ini anak belajar untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya secara mandiri dan bertanggung jawab. Pada masa ini anak belajar di jenjang sekolah dasar. Beban pelajaran merupakan tuntutan agar anak belajar bertanggung jawab dan mandiri.
4.      Usia 12 sampai 15 tahun :
Pada usia ini anak menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama (SMP). Masa ini merupakan masa remaja awal di mana mereka sedang mengembangkan jati diri dan melalui proses pencarian identitas diri. Sehubungan dengan itu pula rasa tanggung jawab dan kemandirian mengalami proses pertumbuhan.
5.      Usia 15 sampai 18 tahun
Pada usia ini anak sekolah di tingkat SMA. Mereka sedang mempersiapkan diri menuju proses pendewasaan diri. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan menengahnya mereka akan melangkah menuju dunia Perguruan Tinggi atau meniti karier, atau justru menikah. Banyak sekali pilihan bagi mereka. Pada masa ini mereka diharapkan dapat membuat sendiri pilihan yang sesuai baginya  tanpa tergantung pada orangtuanya. Pada masa ini orangtua hanya perlu mengarahkan dan membimbing anak untuk mempersiapkan diri dalam meniti perjalanan menuju masa depan.

E.      Faktor yang Dapat Mempengaruhi Perkembanga Kemandirian Anak dan Remaja
Sebagaimana aspek-aspek psikologis lainnya, kemandirian juga bukanlah semata-mata merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir. Perkembangan juga dipengaruhi oleh berbagai stimulasi yang datang dari lingkungannya, selain potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagi keturunan dari orang tuanya. Ada sejumah faktor yang sering disebut sebagi korelat bagi perkembangan kemandirian yaitu sebagi berikut: (Ali, 2006)
a)      Gen atau keturunan orang tua. Namun, faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena adanya pendapat bahwa sesungguhnya bukan karena sifat kemandirian orang tuanya itu menurun kepada anaknya, melainkan karena sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orang tuanya mendidik anaknya.
b)      Sistem pendidikan di sekolah.
c)      Sistem kehidupan di masyarakat.
Menurut Hurlock faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian adalah:
a)      Pola asuh orang tua
b)      Jenis kelamin
c)      Urutan posisi anak
Menurut Markum (1985) faktor-faktor yang dapat mepengaruhi terbentuknya kemampuan berdiri sendiri pada anak adalah:
a)      Kebiasaan serba dibantu dan dilayani
b)      Sikap orang tua
c)      Kurangnya kegiatan diluar rumah
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut, dimana dalam paparannya tentang faktor-faktor penghambat kemandirian terdapat kesamaan antara satu dengan yang lainnya. Dari beberapa pendapat tersebut akan menjadi lebih baik lagi, jika antara pendapat yang satu dengan yang lainnya saling mengisi kekurangan diantara berbagai pendapat tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya kemandirian adalahgen atau keturunan oarang tua. Pola asuh orang tua, jenis kelamin, urutan posisi anak, kebiasaan serba dibantu, sikap orang tua, kurangnya kegiatan diluar rumah, sistem pendidikan disekolah atau perguruan dan sisitem kehidupan masyarakat.
F.       Upaya Pengembangan Kemandirian Remaja dan Implikasinya bagi Pendidikan
Dengan asumsi bahwa kemandirian sebagai aspek psikologis itu berkembang tidak dalam kevakuman atau diturunkan oleh orang tuanya, maka intervensi-intervensi positif melalui ikhtiar pengembangan atau pendidikan sangat diperlukan bagi kelancarana perkembangan kemandirian remaja.
Sejumlah intervensi dapat dilakukan antara lain:
1.         Penciptaan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga
2.         Penciptaan keterbukaan
3.         Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasikan lingkungan
4.         Penerimaan positif tanpa syarat
5.         Empati terhadapt remaja
a.       Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja.
b.      Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai
c.       Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah
d.      Memberi kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka
e.       Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain
f.       Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak

G.     Konsep Perkembangan Karir
Karir sering diartikan sebagai pekerjaan atau profesi seseorang yang menghasilkan sesuatu dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kata ‘karir’ lebih merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang ditekuni dan diyakini sebagai panggilan hidup, yang meresapi seluruh alam pikiran dan perasaan seseorang, serta mewarnai seluruh gaya hidupnya (Winkel, 1991).
Menurut Beaomont, Cooper, dan Stockhard yang dimaksud degan perkembangan karir adalah suatu proses perkembangan sepanjang hidup yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pekerjaan, pengalaman lainnya, dan yang mempengaruhi putusan-putusan setiap individu mengenai karir dan gaya hidup. Menurut Manrihu perkembangan karir menunjukan proses seumur hidup dalam mengembangkan nilai-nilai kerja.
Dengan demikian, perkembangan karir adalah suatu proses panjang yang terjadi sepanjang kehidupan seorang manusia, dan mencakup setiap peran serta posisi yang dijalaninya (Gysber dalam seligman).
Perkembangan karir bukan hanya proses membuat keputusan untuk memilih suatu pekerjaan, tapi merefleksikan seluruh pengalaman hidup seseorang dan membawa dampak terhadap seluruh aspek kehidupannya. Jadi perkembangan karir merupakan suatu proses yang mencakup seluruh rentang kehidupan sesorang.
Pemilihan karir merupakan perpaduan antara faktor yang ada di dalam individu (internal) dan faktor dari luar (eksternal). faktor yang berada di dalam individu seperti kemampuan yang dimiliki individu dan bakat-bakat khusus yang akan memepengaruhi kepribadian individu berkembang. Sedangkan faktor yang bersifat eksternal yaitu aspek-aspek lingkungan sosial-ekonomi, seperti lingkungan masyarakat, sekolah, keluarga, teman sebaya, dan keadaan ekonomi, kesejahteraan, dan ketenagakerjaan serta seluruh kondisi yang mengharuskan individu untuk berinteraksi.
Mengingat betapa pentingnya masalah karir dalam kehidupan manussia, maka sejak dini anak perlu disiapkan dan dibantu untuk merencanakan hari depan yang lebih cerah, dengan cara memberikan pendidikan dan bimbingan karir yang berkelanjutan

H.     Orientasi Karier Pada Anak dan Remaja
Orientasi karir pada anak dan remaja merupakan tahap dimana anak dan remaja dikenalkan dengan dunia yang akan digelutinya kelak. Dalam buku edisi revisinya Ginzberg dkk (1972) menegaskan bahwa proses pilihan karir itu terjadi sepanjang hidup manusia, artinya bahwa suatu ketika dimungkinkan orang berubah pikiran. Hal ini berarti bahwa pilihan karir tidaklah terjadi sekali saja dalam hidup manusia. Disamping itu Ginzberg juga menyadari bahwa faktor peluang/kesempatan memegang peranan yang amat penting. Meskipun seorang remaja sudah menentukan pilihan karirnya berdasarkan minat, bakat, dan nilai yang ia yakini, tetapi kalau peluang/kesempatan untuk bekerja pada bidang itu tertutup karena ‘’tidak ada lowongan’’, maka karir yang akan dicita-citakan akhirnya tidak bisa terwujud. Dan pada akhirnya Tuhan-lah yang menentukan segalanya, manusia hanya berkemampuan untuk berusaha semampunya.





I.         Karakteristik Fase Perkembangan Karir Anak dan Remaja Berdasarkan Usia
Menurut Ginzberg, Axelrad dan Herman, perkembangan karir dibagi menjadi 3 tahap pokok yaitu:
1.      Tahap Fantasi          : 0-11 tahun ( Masa Sekolah Dasar)
Pada tahap ini anak mulai berfantasi mengenai cita-citanya. Fantasi ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan baik itu di kehidupan nyata atau hanya sekedar melalui media, sperti televisi ataupun internet. Pada tahap ini anak menentukan karirnya tanpa pertimbangan yang rasional.
2.      Tahap Tentatif         : 12-18 tahun (Masa Sekolah Menengah)
Pada tahap tentatif anak mulai menyadari bahwa mereka memiliki minat dan kemampuan yang berbeda satu sama lain. Tahap tentatif ini dibagi menjadi 4 sub tahap, yakni:
a.       Sub Tahap Minat (11-12 tahun)
Anak cenderung melakukan pekerjaan atau kegiatan hanya yang sesuai dengan minat dan kesukaan mereka saja.
b.      Sub Tahap Kapasitas Kemampuan (13-14 tahun)
Anak mulai melakukan pekerjaan/kegiatan didasarkan kepada kemampuan masing-masing, disamping minat dan hobinya.
c.       Sub Tahap Nilai (15-16 tahun)
Anak sudah bisa membedakan mana kegiatan/pekerjaan yang dihargai oleh masyarakat dan mana yang kurang dihargai.
d.      Sub Tahap Transisi (17-18 tahun)
Anak sudah mampu memikirkan atau merencanakan karir mereka berdasarkan minat, kemampuan dan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan.
3.      Tahap Realistis        : 19-25 tahun (Masa Perguruan Tinggi)
Pada usia perguruan tinggi (usia 18 tahun ke atas) remaja memasuki tahap realistis, dimana mereka sudah mengenal secara lebih baik minat-minat, kemampuan, dan nilai-nilai yang ingin dikejar. Lebih lagi mereka juga sudah lebih menyadari berbagai bidang pekerjaan dengan segala konsekuensi dan tuntutannya masing-masing. Oleh sebab itu, pada tahap realistisseorang remaja sudah mampu membuat perencanaan karir secara lebih rasional dan objektif.
Sedangkan menurut Donald Super, perkembangan karir manusia dapat dibagi menjadi 5 fase yaitu:
1.      Fase pengembangan (Growth) yang meliputi masa kecil sampai usia 15 tahun.
Dalam fase ini anak mengembangkan bakat, minat, kebutuhan, dan potensi yang akhirnya dipadukan dalam struktur konsep diri (self-concept structure)
2.      Fase Eksplorasi (Exploration) antara umur 16-24 tahun, dimana saat ini remaja mulai memikirkan beberapa alternatif pekerjaan tetapi belum mengambil keputusan yang menikat.
3.      Fase Pemanta[an (Establishment) antara umur 25-44 tahun.
Pada fase ini remaja sudah memilih karir tertentu dan mendapatkan berbagai pengalaman positif maupun negatif dari pekerjaan. Dengan pengalaman yang diperoleh ia lalu bisa menentukan apakah ia kan terus dengan karir yang telah dijalani atau berubah haluan.
4.      Fase Pembinaan (Maintenance) antara umur 25-44 tahun.
Pada fase ini dimana orang sudah mantab dengan pekerjaannya dan memeliharanya agar dia bertekun sampai akhir.
5.      Fase Kemunduran (Decline) masa sesudah pensiun atau melepaskan jabatan tertentu.
Dalam fase ini orang membebaskan dari dunia kerja formal.

J.       Faktor yang Dapat Mempengaruhi Perkembangan Karier Anak dan Remaja
Faktor yang mempengaruhi perkembangan karir anak dan remaja dibagi menjadi dua bagain yaitu:
a.       Faktor Internal
1.      Nilai-nilai kehidupan (Values), yaitu beberapa ideal yang dikejar seseorang dimana-mana dan kapan juga. Nilai-nilai menjadi pedoman atau pegangan dalam hidup samapai tua dan sangan menentukan gaya hidup seseorang, namun, belum dapat ditujukkan kaitan langsung antara nilai-nilai kehidupan yang dianut seseorang dan aneka bidang pekerjaan.
2.      Taraf intelegensi, yaitu kemampuan berfikir untuk mencapai prestaso-prestasi.
3.      Bakat khusus, yaitu kemampuan yang menonjol di suatu bidang usaha kognitif, bidang keterampilan, atau bidang kesenian.
4.      Minat, yaitu kecenderungan yang relatif menetap pada seseorang untuk merasa tertarik pada suatu bidang tertentu dan merasa senang berkecimpung dalam berbagai kegiatan dengan bidang itu.
5.      Sifat-sifat, yaitu ciri-ciri kepribadian yang bersama-sama memberikan corak khas pada seseorang, seperti: periang, ramah, halus, teliti, terbuka, fleksibel, tertutup, pesimis, atau ceroboh.
6.      Pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki tentang bidang-bidang pekerjaan dan diri sendiri secara akurat.
7.      Keadaan jasmani, yaitu ciri-ciri fisik yang dimiliki seseorang seperti tinggi badan, tampan, ketajaman pengelihatan dan pendengaran, serta jenis kelamin.
b.      Faktor Eksternal
1.      Masyarakat, yaitu lingkungan sosial-budaya dimana individu dibesarkan.
2.      Keadaan sosial ekonomi negara atau daerah, yaitu laju pertumbuhan ekonomi yang lambat atau cepat, sertifikasi masyarakat, serta diversifikasi masyarakat atas kelompok yang terbuka atau tertutup dari kelompok lain.
3.      Status ekonomi keluarga, yaitu tingkat pendidikan orangtua, tinggi rendahnya pendapatan orangtua, jabatan ayah dan ibu, daerah tempat tinggal dan suku bangsa.
4.      Pengaruh dari seluruh anggota keluarga ini (genogram).
5.      Pendidikan sekolah, yaitu pandangan dan sikap yang dikomunikasikan kepada anak didik oleh staf petugas bimbingan dan tenaga pengajar mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam bekerja, tinggi rendahnya status sosial jabatan tertentu, dan kesesuaian jabatan tertentu untuk anak laki-laki atau perempuan.
6.      Pergaulan dengan tean sebaya, yaitu beraneka ragam pandangan dan variasi harapan tentang masa depan yang terungkap dalam pergaulan sehari-hari.
7.      Tuntutan yang melekat pada masing-masing jabatan dan pada setiap program studi atau latihan, yang mempersiapkan seseorang untuk diterima pada jabatan tertentu dan berhasil didalamnya.

K.     Perkembangan Remaja Dalam Berkarir
Teori Tipe Kepribadian Holland
  Disini dijelaskan bahwa perlu dilakukan sesuatu usaha agar pilihan karir seseorang sesuai dengan kepribadiannya. Bila seseorang menemukan karir yang sesuai dengan kepribadiannya, maka ia akan lebih menikmati pekerjaan tersebut dan bekerja di bidang tersebut lebih lama daripada orang yang bekerja di bidang yang tidak cocok dengan kepribadiannya. Menurut Holland ada 6 tipe kepribadian yang perlu dipertimbangkan saat mencari kecocokan antara aspek-aspek psikologis seseorang dengan karir mana yang akan dipilih, yaitu :
1.     Realistis. Orang yang memperlihatkan karakteristik maskulin. Kuat secara fisik, menyelesaikan masalah dari sisi praktisnya dan memiliki kemampuan sosial yang rendah. Mereka paling cocok bekerja pada situasi praktis sebagai buruh, petani, pengemudi bis, dan tukang bangunan.
2.     Intelektual. Orang-orang ini memiliki orientasi konseptual dan teoretis. Mereka lebih tepat menjadi pemikir daripada pekerja. Mereka seringkali menghindari hubungan interpersonal dan paling cocok untuk pekerjaan yang berhubungan dengan matematika atau keilmuan.
3.     Sosial. Orang-orang ini sering memperlihatkan trait feminin, khususnya yang berhubungan dengan kemampuan verbal dan interpersonal. Mereka paling mungkin dipersiapkan untuk masuk profesi yang berhubungan dengan orang banyak seperti mengajar, menjadi pekerja sosial, konseling.
4.     Konvensional. Orang-orang ini memperlihatkan ketidaksenangannya terhadap kegiatan yang tidak teratur dengan rapi. Mereka paling cocok menjadi bawahan, seperti sekretaris, teller bank, atau pekerjaan administratif lainnya.
5.     Menguasai (enterprising). Orang-orang ini menggunakan kata-katanya untuk memimpin orang lain, mendominasi orang lain, dan menjual berita tau produk. Mereka paling cocok memiliki karir yang berhubungan dengan penjualan, sales, politikus, atau manajemen. 
6.     Artistik. Mereka adalah orang yang lebih suka berinteraksi dengan dunia mereka melalui ekspresi seni, menghindari situasi interpersonal serta konvensional dalam banyak kasus. Para remaja tipe ini sebaiknya diarahkan ke karir seni atau penulisan.

sumber :













Cari..